Setidaknya, aku menghabiskan lebih dari separuh usiaku untuk bertanya, kapankah aku bisa menerbitkan buku sendiri? Jawaban itu seakan-akan tidak pernah singgah di hidupku. Segala pintu tampaknya menutupi jalanku demi menggapai mimpi ini. Atau lebih tepatnya, aku tidak benar-benar bertekad untuk mewujudkan mimpi?

Nihil dan tak tahu bagaimana cara memulai. Takut bertanya dan salah menulis. Segala perasaan takut itu lebih menguasai diri dan menutup jalanku untuk berkarya. Jika di antara kalian merasakan kebingungan yang sama sepertiku dulu, artikel ini cocok untukmu.

Kendala Terbesar Penulis Pemula yang Sesungguhnya

Setiap tahun, resolusi menulis buku solo selalu bertengger di deretan lima teratas impianku. Jika akhir tahun tiba dan mimpi itu belum terwujud, aku hanya bisa mengernyit dan menenangkan hati. Selalu saja ada jutaan alasan klasik yang kukatakan pada diriku sendiri. Tentang halangan berupa kesibukan pekerjaan, konflik keluarga, pendidikan, anak, dan lainnya. Hingga akhirnya aku tersadar, kendala terbesar yang menghambat mimpiku ini sejatinya adalah diriku sendiri.

Namun anehnya, meski sudah sadar bahwa aku harus mengubah mindset demi terwujudnya mimpi ini, aku masih memilih untuk tidak sungguh-sungguh memperjuangkannya. Masih saja ikut hanyut dalam arus kehidupan yang membawaku kemana saja. Tidak ada pelampung yang kubawa, tidak pula belajar melawan arus. Larut begitu saja.

Hingga akhirnya, Tuhan benar-benar menggedor hatiku lewat penyakit bernama botulisme. Sakit ini, sungguh telah menyadarkanku arti syukur dan perjuangan. Tak lama setelah sakit, aku bertekad untuk menunaikan mimpi yang tertunda. Menulis buku sendiri.

Dan lihatlah. Ketika tekad sungguh-sungguh dihunjamkan, segala pintu ketidaktahuan itu terbuka. Tiba-tiba saja FLP Jepang mengadakan lokakarya keterampilan bergramatika bersama Ivan Lanin, sehingga aku tahu cara menulis novel sesuai kaidah bahasa. Tak lama kemudian aku mendapat kesempatan untuk berkonsultasi dengan beberapa penulis novel tentang cara menerbitkan buku. Setelah itu, terbuka sudah jalanku untuk menerbitkan buku yang sebelumnya nihil kuketahui.

Jelas sudah yang sesungguhnya harus dibenahi pertama adalah diri sendiri. Itulah langkah awal untuk bisa menerbitkan buku sendiri.

Temukan Faktor X Sebelum Menulis Buku

Sebelum melangkah jauh ke langkah konkret menulis buku, seorang penulis harus menemukan faktor X terlebih dahulu. Hal ini berkelindan dengan tekad kuat yang harus dimiliki seorang penulis.

Faktor X ini haruslah sesuatu yang kuat dan mampu menggerakan jiwa dan potensi kita dari dalam. Adapun bentuknya bisa beragam. Misalnya ketika seorang penulis tidak berhasil menemukan buku yang sangat ingin dibacanya, ia lalu menulis buku tersebut. Penulis Dee Lestari, contohnya. Ia acapkali berkata bahwa karya-karyanya lahir atas dasar faktor ini.

Selain itu, ada pula penulis yang ingin menerbitkan buku karena ingin berbagi ilmu dan inspirasi. Ada yang suka masak, menulis buku resep. Ada yang suka jalan-jalan, menulis buku tips traveling. Ada juga penulis yang ingin menulis buku dengan gaya satir atas ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Tak jarang ada pula penulis yang menyatukan tulisan di blognya dalam bentuk buku agar lebih mudah dibaca.

Bagiku, faktor X yang akhirnya membuatku mampu menyelesaikan buku solo pertamaku Metamorfosa Botulisme adalah rasa syukur. Iya, syukur.

Sakit botulisme yang menyerangku pada tahun 2020 silam telah menyampaikanku di titik nadir. Di sanalah akhirnya aku tersadar akan mimpi-mimpi yang belum tunai. Menulis buku, salah satunya. Di titik keberpasrahan itu, ada rasa takut yang kentara, tapi juga penuh harap. Di sela-sela doa yang tak pupus, kukatakan pada-Nya bahwa jika Allah menghendaki kehidupan normal kembali, aku akan bersungguh-sungguh mewujudkan mimpi.

Maka ketika akhirnya Allah sembuhkanku dari penyakit botulisme, pikiranku tak bisa jauh-jauh dari merampungkan buku yang telah kujanjikan di hadapan Allah. Buku ini adalah wujud syukurku pada-Nya, yang telah menyembuhkanku dari penyakit langka nan mematikan bernama botulisme.

Tentunya kamu tidak perlu mengalami pahit yang seperti kualami agar bisa menemukan faktor X. Dengan banyak membaca, melakukan perenungan yang dalam, bercakap dengan orang, menonton serial drama, atau membaca keadaan sekitar, kamu dapat menemukan faktor X itu. Setiap orang memiliki perjalanan yang berbeda. Maka itu, may you find your own journey and be persistent in reaching your dream!

Cara Menulis Buku Ala Penulis Pemula

Setelah mengubah mindset, memiliki tekad yang kuat, dan menemukan faktor X, seorang penulis pemula sudah dikatakan siap untuk menulis buku. Aku tidak mengatakan bahwa ini akan mudah, tapi tekad yang kuat itu adalah energi terbesar yang bisa membuatmu bertahan, menghadapi semua tantangan, dan menyelesaikan apa yang kau mulai.

Lalu, apa saja langkah konkret menulis buku yang bisa dilakukan oleh seorang penulis pemula? Ini dia!

1. Baca buku yang kamu sukai

Mau tak mau, seorang penulis harus lebih dahulu gemar membaca. Maka itu, awali tahap membaca ini dengan buku yang disukai. Dengan membaca, dunia akan menjadi lebih besar dan luas, sehingga perspektif pun menjadi berkembang. Kita akan tahu bahwa teori di dunia ini sangat beragam, sehingga jiwa dilatih untuk menjadi pribadi yang inklusif. Kita akan tahu banyak hal, perbendaharaan kata pun melonjak tinggi. Semua itu akan disimpan dalam kotak ajaib di otak kita. Bilamana waktu menulis tiba, ide dan inspirasi itu mengalir begitu saja dalam bentuk tulisan.

2. Jadilah pembaca yang mindfulness

Ternyata, membaca saja tidak cukup. Seorang calon penulis harus memberi perhatian penuh pada buku yang sedang dibacanya. Tentang bagaimana gaya bahasa tulisan itu, diksi yang dipilih si penulis, banyaknya kalimat per paragraf, tanda baca, kiasan, sinonim kata, dan lainnya.

Jika kamu menemukan diksi atau frasa yang menarik, tuliskan itu dalam note dan gunakan nanti ketika menulis. Jurus ini sangat ampuh ketika aku sedang menggarap novel Metamorfosa Botulisme (MB). Saat itu aku ditemani buku-buku karya Tasaro GK, Puthut Ea, Desi Anwar, sirah nabawiyah yang ditulis dengan sastra puitis berjudul Lentera Kegelapan, juga buku tulisan guruku tercinta, Teh Nati Sajidah.

Susunan kata, pilihan diksi, serta ide menarik yang ada di buku-buku itu, kutuliskan dalam catatan khusus. Ketika proses penggarapan dimulai, buku catatan itu selalu menemani dan kutengok setiap kali kebuntuan hadir. Maka, buku Metamorfosa Botulisme adalah proyek gabungan dari pengalamanku, inspirasi yang kudapat dari penulis favoritku, serta ilmu gramatika yang kupelajari.

3. Belajar gramatika Bahasa Indonesia

Keterampilan bergramatika atau tata bahasa adalah aspek penting yang harus dimiliki seorang penulis. Dengan keterampilan ini, penulis mampu menghadirkan karya yang ditulis sesuai dengan kaidah bahasa. Aku sendiri selalu terkesima pada penulis-penulis yang mampu merakit kata dengan sedemikian indah karena mengikuti kaidah bahasa yang ada. Maka itu, aku ingin menjadi penulis seperti mereka yang tak sekadar menulis, tapi juga pandai bergramatika.

Untunglah keinginan itu bersambut dengan hadirnya lokakarya keterampilan bergramatika yang diselenggarakan oleh Forum Lingkar Pena Jepang dan Narabahasa. Selama tiga pekan, Ivan Lanin mengajari kami cara menulis sesuai kaidah. Dimulai dari penataan wacana, lalu pemilihan kata dan istilah, dan diakhiri dengan penulisan ejaan.

Lokakarya ini sangat membantu proses penggubahan buku solo perdanaku. Tentu saja aku tidak langsung terampil, bahkan hingga saat ini. Namun dengan sering menengok PUEBI dan materi yang diberikan Uda Ivan, proses penulisan buku terasa lebih ringan.

Kamu dapat mempelajari tata bahasa ini melalui lokakarya Narabahasa, atau lewat materi gratis di Twitter dan Instagram Ivan Lanin.

4. Berteman dengan KBBI, sinonim kata, dan PUEBI

Agar dapat menghasilkan tulisan yang menarik, seorang penulis harus pandai meracik kata dengan indah. Kata-kata yang dituliskan tidak melulu itu, tapi harus kaya dengan padanan kata dan diksi yang indah. Untuk itu, seorang penulis harus memiliki senjata andalan, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), dan sinonim kata.

Semua senjata itu bisa kita didapat secara daring di alamat https://kbbi.kemdikbud.go.id/, https://www.sinonimkata.com/, dan mengunduh PUEBI di sini.

5. Terus melaju dan pantang menyerah, tapi relakan dirimu bila ingin jeda

Merampungkan naskah adalah perjalanan panjang nan berat. Tanpa tekad yang kuat, kamu bisa pupus di tengah jalan. Untuk itu, kemampuan untuk menyelesaikan apa yang kau mulai amat mutlak dimiliki seorang penulis.

Bagi penulis pemula, masa-masa kebuntuan ide sangatlah menyeramkan. Writer’s block, itu istilah populernya. Di masa ini, penulis sendiri bahkan tidak tahu ke arah mana naskah ini akan berjalan, pun begitu dengan alur cerita yang berantakan. Rasanya ingin tenggelam saja ke dalam tanah dan memulai lagi dari awal. Namun, apakah itu benar-benar jawabannya?

Fiersa Besari dalam salah satu podcast-nya menyatakan bahwa bila kebuntuan hadir, itulah saat yang tepat untuk mengendapkan tulisan. Proses pengendapan bisa berlangsung sebentar, bisa bertahun-tahun, tergantung dari keruwetan naskah. Di masa pengendapan ini, penulis sebaiknya menghentikan proses menulis sementara waktu dan disarankan untuk memperbanyak membaca, merenung, dan melihat keadaan sekitar. Beri jeda sejenak, biarkan inspirasi itu hadir kembali hingga akhirnya siap menulis kembali.

Penulis yang berhasil melalui proses pengendapan ini akan mampu memberi napas baru dalam karyanya. Ia mampu melihat hal yang luput terlihat, merapikan alur cerita yang kusut, mengganti padanan kata, atau bahkan merombak isi cerita menjadi lebih menarik.

Aku sendiri mengalami proses pengendapan ini, tapi untungnya tidak lama. Ditemani oleh buku-buku favorit, membaca jurnal medis terkait botulisme, ngaji kitab dan shalawat bersama guru, dan menonton podcast, inspirasi datang begitu saja dan akhirnya aku bisa merampungkan naskahku tepat waktu.

6. Berani untuk bertanya pada penulis lain

Ihwal bertanya ini rupanya menjadi ganjalan yang cukup besar bagiku, padahal aku punya banyak teman penulis. Barangkali aku takut dianggap bodoh karena menanyakan hal-hal yang sederhana, atau juga karena mungkin malas saja. Aku melihat penulis senior itu, bahkan yang aku kenal, seperti seseorang yang amat jauh. Seperti ada jarak, yang ternyata hanya aku ciptakan sendiri.

Ketika pada akhirnya aku memberanikan diri bertanya kepada para penulis senior itu, dengan kelapangan hati, mereka menjawab semua pertanyaanku. Tentang bagaimana cara mendapatkan inspirasi, membagi waktu menulis di sela-sela kesibukan, cara menerbitkan buku, siapa ilustrator sampul buku, tarif royalti yang wajar untuk penulis pemula, cara promosi buku, dan lain-lain.

Berani bertanya pada mereka yang memulai lebih dahulu adalah poin penting yang harus kamu lakukan. Tujuannya agar kamu belajar dan tidak kehilangan arah. Kita ini orang yang sedang belajar sehingga perlu mentor atau guru untuk memberi petunjuk. Jadi, jangan takut bertanya, ya.

Meski harus aktif bertanya, soal adab jangan sampai dilupakan. Kita harus bertanya dengan sopan dan kalau bisa tidak mengirimkan pesan di waktu-waktu sibuk. Kata-kata sapaan dan pertanyaan seputar kabar jangan sampai dilewatkan. Jangan ujug-ujug menanyakan poin inti karena itu amatlah tidak menyenangkan. Jadi, sabarlah, sebab ini seni dalam menuntut ilmu.

7. Makan sehat, tidur cukup, dan cari waktu menulis yang tepat untukmu

Aku selalu nyaman menulis di pagi buta. Jam 3 dini hari, hingga waktu subuh. Rasanya saat itu seluruh unsur kehidupan mendukung kemampuan berpikirku. Tenang, damai, dan menenangkan. Apalagi di jam-jam tersebut, kedua anakku masih tertidur pulas. Tulisanku terasa lebih bernas di waktu ini. Namun tentu saja kesuksesan menulis di pagi hari ini didukung oleh kecukupan waktu tidur dan asupan gizi.

Jika tidur lewat dari jam 11, biasanya susah bagiku untuk bangun sebelum subuh. Bila terlalu banyak makan nasi di hari itu, badanku jadi tidak nyaman dan mood menulisku berkurang jauh. Maka saat menggarap naskah Metamorfosa Botulisme, sebisa mungkin aku mengganti nasi dengan karbohidrat kompleks, tidur siang meski beberapa menit, dan tidur sebelum jam 10. Dengan strategi itu, aku berhasil merampungkan buku dalam waktu singkat sebab aku menulis di waktu optimalku.

Jelas sudah, aku adalah tipe orang yang menyukai pagi alias morning bird. Jika kamu berbanding terbalik denganku, waktu malam adalah momen yang tepat untuk mendapatkan inspirasi. Saranku bagi para night owl, hindari terlalu banyak minum kafein dan tetap tidur yang cukup, ya!

8. Jadikan tantangan sebagai kekuatanmu

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa aku bisa menulis buku ketika sudah memiliki dua anak. Saat itu Ibrahim berusia 3 tahun dan Salman 1 tahun. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku bisa saja menyerah karena mengurus anak yang masih kecil dan di hidup di negeri orang itu amat melelahkan. Kerap kali bayiku merengek ketika aku sedang asik mengolah kata, atau raungan keduanya yang tiba-tiba saja membuyarkan ide-ide di kepala.

Tak hanya itu, kinerja laptop yang mana adalah satu-satunya sarana untukku menulis sudah mulai menurun. Sering sekali laptop berumur 8 tahun itu mati tiba-tiba, belum dengan loading-nya yang lama ketika berselancar di internet. Namun, mengapa akhirnya aku bisa terus melanjutkan?

Tekad yang kuat, itulah kuncinya.

9. Delegasikan tugas dan bentuk support system

Jangan sangka keberhasilanku merampungkan naskah adalah hasil dari upayaku semata. Keberhasilan ini adalah buah dari kerjasama keluarga. Suamiku rela menjaga anak-anak ketika aku sedang menulis dan membantuku mengurus rumah ketika aku terlihat kelelahan. Anak-anak pun terlihat mengerti ketika ibunya meminta izin untuk menulis. Meski tidak bisa lama, tentu saja (apalagi jika suami tidak ada), aku sudah mampu menambahkan beberapa kalimat di naskahku.

Kerjasama ini tidak terjadi begitu saja. Sebelumnya, aku harus berupaya dulu membentuk support system. Tidak mudah, tentu saja, sebab suamipun kelelahan selepas bekerja. Melalui deep talk berkali-kali, kukatakan pada suami bahwa aku butuh sekali dukungan darinya. Aku pun belajar cara berkomunikasi dengan anak sehingga mereka mau memberi sedikit ruang bagi ibunya untuk menulis. Tentu saja dengan menyediakan sarana bermain yang menarik bagi mereka.

10. Bersyukur, berdoa dan meminta restu

Perkara ini jangan luput dilakukan. Bersyukur, shalawat, dan berdoa adalah kekuatan terbaik untuk dapat melalui lika-liku tahapan menulis. Selain itu, meminta restu dari suami dan orang tua dapat membuat jalanmu mulus. Adapun jika ada hambatan, kamu dapat melihatnya sebagai kebaikan sehingga akhirnya bisa melaluinya dengan baik.

Jika naskah sudah rampung atau barangkali sebentar lagi selesai, penulis sudah bisa mencari-cari calon penerbit bukunya. Jumlah penerbit itu sangatlah banyak, dan kita akan kebingungan jika tidak tahu bagaimana cara memilihnya. Untuk itu kita harus tahu dulu karakter penerbit yang ada di Indonesia. Tujuannya supaya tidak salah pilih dan sedih di kemudian hari.

Cara Ampuh Menerbitkan Buku Ala Penulis Pemula

1. Pelajari jenis-jenis penerbit

Secara umum, penerbit itu ada dua jenis, yakni mayor dan indie. Penerbit mayor adalah perusahaan penerbitan yang skalanya sudah besar. Nama-nama terkenal seperti Gramedia, Mizan, Grasindo, Elex Media Komputindo, Quanta, dan Erlangga adalah sedikit contoh dari penerbit mayor. Karena berskala besar, seleksi naskah di penerbitan mayor terbilang ketat. Rata-rata penulis harus menunggu 6 bulan – 1 tahun hingga akhirnya naskah bisa terbit atau apesnya ditolak. Namun sekalinya diterima, karya kita dijamin terpampang di toko-toko buku di seluruh Indonesia. Proses pemasaran pun dilakukan sepenuhnya oleh penerbit.

Berbanding terbalik dengan penerbit mayor, penerbit indie mempunyai skala yang kecil dan biasanya lebih mengutamakan tanggung jawab pemasaran pada penulis. Penerbit indie umumnya tidak memberi jasa penyaluran buku ke toko buku, kecuali jika diurus sendiri oleh penulis. Cara mengirimkan naskah ke penerbit indie terbilang mudah, meski tentu saja harus melalui proses editing terlebih dahulu. Proses seleksi naskah di penerbit indie pun terbilang mudah sebab naskah sudah pasti diterima dan terbit.

Berbeda dengan penulis mayor yang tidak membebankan biaya pada penulis, penerbit indie membebankan jasa penerbitan buku, editing, layout naskah dan ilustrasi (bila perlu), dan proses ISBN pada penulis. Namun tak jarang pula penerbit indie memberikan diskon, jangka waktu tertentu, atau sayembara di media sosialnya sehingga calon penulis bisa menerbitkan buku secara gratis.

2. Pilih penerbit impianmu

Setelah memahami perbedaan karakter kedua penerbitan itu, juga menimbang kelebihan dan kekurangannya, aku akhirnya memilih penerbit indie. Meski harus merogoh kocek, proses penerbitan buku akan lebih cepat dibanding di penerbit mayor. Alasan naskah MB harus segera terbit sangatlah personal. Aku ingin karya ini segera dibaca oleh teman-teman yang telah membantuku ketika sakit botulisme. Selain itu, aku ingin bisa berfoto dengan buku karanganku sendiri di usia 30 tahun.

Mari berkaca pada penulis lain. Temanku yang telah menerbitkan 4 buku berkata bahwa ia lebih suka menerbitkan buku di penerbit indie karena royalti yang dihasilkan lebih besar daripada penerbit mayor. Temanku yang lain berkata bahwa indie tidak kalah keren dibanding mayor jika kualitas buku yang dihasilkan bagus. Banyak dari rekan penulis indie yang akhirnya menyamai kesuksesan penulis yang bukunya diterbitkan oleh penerbit mayor. Tak jarang pula ada buku terbitan indie yang akhirnya dipinang oleh penerbit mayor untuk dicetak ulang.

Pilihan ini amatlah personal. Jadi, pilih penerbit yang sesuai preferensimu ya!

3. Jalin kerjasama yang hangat dengan penerbit

Setelah memilih penerbit, jalinlah komunikasi yang baik dengan mereka. Oleh karena aku memilih penerbit indie, maka artikel ini akan lebih banyak bercerita tentang indie.

Ketika berselancar di internet, ternyata jumlah penerbit indie ada banyak sekali. Tak mau bingung, aku bertanya pada beberapa penulis senior. Meski begitu, pilihanku tak jatuh pada penerbit yang disarankan oleh mereka. Setelah berselancar kesana kemari, akhirnya aku mantap bekerjasama dengan Ellunar Publisher.

Jalinan komunikasi antara aku dan Ellunar berjalan sangat mulus. Respon mereka sangat cepat dan segala permintaanku mampu dipenuhi dengan baik. Ilustrasi sampul buku yang kubebankan pada Ellunar berhasil dibuat dengan sangat cantik dan sesuai ekspektasiku. Editor Ellunar pun profesional dan menguasai PUEBI. Meski akhirnya kudapati masih ada sedikit kesalahan ketik ketika buku sudah terbit, aku bisa memakluminya. Toh penerbit mayor pun terkadang masih begitu.

Di tahap ini, akan ada umpan balik dengan editor. Kamu bisa menambahkan atau mengurangi isi naskah, revisi tata letak, juga review hasil editing mereka.

4. Siapkan ilustrasi yang kamu inginkan, juga testimoni

Terkait ilustrasi, kamu bisa membuat sendiri, meminta jasa ilustrator, meminta bantuan teman/saudara, atau menyerahkannya ke penerbit (tentunya dengan mempertimbangkan poin-poin yang kita inginkan). Misalnya dari segi warna, jenis huruf, objek tertentu, dan lainnya. Kamu juga bisa mempertimbangkan usulan-usulan dari penerbit terkait ilustrasi ini.

Untuk membuat buku lebih ciamik, kamu bisa menambahkan endorsement di bukumu. Kamu bisa meminta testimoni dari pembaca pertamamu untuk diselipkan di buku. Misalnya kepada teman, mentormu, atau influencer. Selain itu, biasanya di penerbit mayor akan ada kata pengantar dari penerbit. Kalau di penerbit indie, biasanya tidak.

5. Tentukan harga royalti yang wajar

Berbeda dengan penerbit mayor yang biasanya sudah mematok harga buku dan persenan royalti, penerbit indie memberikan keluasan sebebas-bebasnya pada penulis untuk menentukan royalti. Meski begitu kamu harus mematoknya dengan wajar, supaya bukumu tidak kalah saing dengan buku-buku lain di pasaran. Jika bingung, kamu bisa meminta saran dari penerbit atau penulis lainnya terkait ini.

6. Siapkan strategi pemasaran

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, jika kamu memilih penerbit indie, sebagian besar urusan promosi buku ditanggung oleh penulis. Maka itu, penulis harus memiliki strategi pemasaran yang baik.

Ada beberapa cara pemasaran yang bisa kamu pilih, yakni:

  • Menyerahkan urusan promosi hanya pada penerbit indie. Kalau kamu memilih ini, siap-siap saja bukumu akan tidak begitu laku. Penerbit indie rata-rata hanya sesekali saja mempromosikan buku kita. Tidak intensif seperti penerbit mayor.
  • Mempromosikan buku secara mandiri di media sosial, blog, dan mulut ke mulut. Ini adalah cara yang paling efektif sehingga pembaca jadi tahu bahwa kamu baru saja menerbitkan buku baru.

Jika kamu memilih promosi buku sendiri, berikut langkah-langkah yang bisa kamu lakukan:

  • Buatlah poster yang menarik untuk diunggah ke media sosial.
  • Tentukan tenggat waktu PO dengan diskon yang menarik. Dengan melakukan ini, kamu bisa memesan buku ke penerbit sesuai dengan pesanan yang ada.
  • Kamu bisa membeli buku terlebih dahulu ke penerbit (dengan harga produksi) lalu dijual sendiri ke pembaca (royalti otomatis masuk ke rekening sendiri), atau mengumpulkan pesanan dan menyerahkan urusan pengiriman ke penerbit (royalti dikirimkan oleh penerbit).
  • Mengunggah testimoni dengan desain yang menarik di media sosial.

Untuk kamu yang memilih terbit di penerbit mayor, kamu bisa melewatkan cara-cara di atas sebab seluruh promosi dilakukan oleh mereka. Dari mulai unggahan poster menarik di media sosial dan website, distribusi ke toko buku, pemberian diskon khusus, sampai menyelenggarakan bedah buku, semua dilakukan oleh penerbit mayor.

7. Bedah buku secara daring maupun luring

Kamu bisa menerapkan teknik ini ketika sedang mempromosikan buku. Di poin ini kamu bisa dapat banyak kebaikan, yakni berbagi ilmu seputar kepenulisan dan promosi buku. Bagi-bagi ilmu gratis biasanya banyak diminati orang. Mereka pun penasaran dengan latar belakang di balik terbitnya buku yang kita tulis.

Ketika melakukan sesi bedah buku bersama FLP Jepang dan PPIP Jepang, banyak di antara peserta yang menanyakan tentang proses kreatif buku MB. Rupanya banyak yang ingin menerbitkan buku juga, sehingga dengan senang hati kusampaikan langkah-langkahnya.

Contoh poster promosi di media sosial

Itulah langkah-langkah yang kuterapkan ketika menulis, menerbitkan, dan mempromosikan buku Metamorfosa Botulisme. Aku pun mengadopsinya dari penulis lain yang sudah menerbitkan buku. Jadi, siapapun pasti bisa melakukannya.

Satu hal yang perlu kutekankan di sini bahwa niatkan menulis buku untuk ibadah. Jangan sekadar untuk meraup cuan karena kebaikannya hanya sedikit. Dengan niat ibadah, segala tantangan atau kerugian takkan menyulitkanmu. Miliki kepercayaan bahwa kamu telah mengikat ilmu dengan tulisan, dan jadikan itu sebagai amalan jariyahmu.

Jika kalian memiliki tips dan saran lain yang bermanfaat, silakan berbagi di kolom komentar, ya!

Selamat menulis dan menerbitkan buku! 🙂

You might also enjoy:

31 Comments

  1. Teh Zahraaaaas terima kasih sdh berbagi. bnyk kata dan kalimat yg menarik dr tulisan Teteh ❤️ Selamat atas tertunsinya janji yg merupakan perwujudan dr rasa syukur ini ya Teh✨Barakallohu

  2. wah ijahhh selalu kasih surprise... suka jadi pengen menulis cm entah dari mana mesti memulai.. semoga menjadi panduan. aamiinn

  3. wah lengkap ya tipsnya, terima kasih mba sudah berbagi dan memotivasi kami ya mba, btw selamat ya buat peluncuran bukunya, semoga semakin banyak buku yang diluncurkan di masa depan

  4. Wow, terima kasih tipsnya Kak, lengkap, kap, kap, kap! 15 tahun lalu saya ingin banget menjadi penulis buku sampai belajar memahami tipikal penerbit. Sampai sekarang keinginan itu belum terwujud, mungkin betul yang Kak Zahra katakan, saya belum berhasil menakhlukkan faktor X diri saya, dan baca ini semangat itu kembali bersinar lagi

  5. Ahh, Zahraa ini nabok aku banget, jadi inget tantangan diri dan janji sama teman untuk menulis buku belom terealisasi sampe sekarang, hiks.
    Membaca tips2nya jadi semacam ada semangat lagi.
    Selamat dan sukses dengan buku yang so sweet banget, tampilan yang serba pink dan tentu ceritanya yang so sweet yaaa.
    Seneng lihat dirimu sehat2 kembali.

    1. Selamat mba buku solo pertamanya semoga sukses ya. MasyaAllah bekalnya gak nanggung-nanggung ya termasuk belajar sama uda Ivan. Terimackasih sharingnya detail banget lho ini

  6. Baca buku yang disukai ini yang kadang susah, dengan sedikitnya waktu, saya bingung mau baca buku yang mana?
    Saya suka buku novel, apalagi kalau ceritanya bagus.
    Tapi, saya butuhnya baca buku-buku motivasi yang bikin ngantuk, tapi menyemangati banget 😀

  7. Selamat atas tercapainya salah satu mimpi besarmu, mbak. Aku juga pengen nerbitin buku, minimal satu buku lah seumur hidup. Tapi belum belum terlaksana juga. Mandeg di outline. Btw semoga buku metamorfosa botulisme mu ini laris manis dan insyaAllah memberi manfaat bagi pembacanya ya mbak. Aamiin

  8. Keren dan salut atas perjuangannya mbak hingga akhirnya mimpi itu jadi kenyataan. Memang benar musuh terbesar di kehidupan nyata itu adalah diri kita sendiri. Kita punya mimpi besar namun harus punya nyali besar pula untuk mewujudkannya karena mimpi itu bukan sulapan dan tidak bisa begitu saja berubah jadi kenyataannya. Kitalah yang harus memperjuangkannya. Terimakasih telah berbagi ilmu disini yang sangat inspiratif.

  9. Keren mbak, semoga makin banyak ya karya2 bukunya.
    Btw ternyata FLP Jepang cukup aktif ya mbak. Sering ketemuan offline gity juga gak?
    Wah aku noted banget nih cara cari penerbitnya. Utk awal kita yang cari sendiri ya, kalau konsisten penerbit gede yang menghampiri, semangaaattt #ntms

  10. jadi ingin baca kisahnya nih Mbak, baru tahu lho ada Botulisme ini.
    menerbitkan buku adalah salah satu mimpiku juga Mbak sejak SMA, tapi sayangnya hingga detik ini belum kesampaian, semoga dengan membaca tips dari Mbak ini saya bisa bangkit kembali untuk meraih impian.
    terima kasih sharingnya Mbak lengkaaap, sehat selalu ya 🙂

  11. Barakallahu fiik, kak Zahra.
    Senang sekal melihat ada turning point dari sebuah ujian. Karena ujian botulisme yang terbilang menguras energi, malah bisa mewujudkan bucket list mimpi yang selama ini masih terdistraksi oleh banyak aktivitas dan kesibukan.
    Semoga setelah ini kembali hadir karya-karya kak Zahra yang menginspirasi lainnya.

  12. Salut banget padamu Zahra, mampu mewujudkan tekad yang kuat dalam menyelesaikan buku solo perdana ini. Aku mau dong ngikutin kisah botulisme ini, boleh ya pesan 1 Zahra.

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *