Alangkah berbahagianya orang yang merasa sedih kala berbuat dosa. Mulutnya bergetar, bulu kuduknya bergidik, tangannya kaku, langkahnya terseok, hatinya berdesir-desir tak tentu. Kesedihan yang merupakan sebuah tanda bahwa kebaikan dan iman pada Tuhan masih ada dalam diri. Kesedihan yang merupakan sebuah keyakinan bahwa perbuatan ini salah. Seharusnya aku tidak melakukan ini…
Sungguh mengerikan bila hati merasa tenang-tenang saja kala berbuat kesalahan. Tak ada penyesalan. Tak ada upaya perbaikan. Apakah hati ini telah mati dan terkunci?
Upaya untuk memelihara keyakinan pada Tuhan dan ketakutan berbuat dosa haruslah dilakukan secara konsisten dan terus-menerus. Maka syukur alhamdulillah, Tuhan berikan banyak sarana bagi kita untuk terus mengingat-Nya. Apalagi di bulan suci Ramadhan. Sungguh bertaburan kajian keagamaan yang mengingatkan kita akan Tuhan.
Selain melalui kajian keagamaan, rutinitas ibadah yang dilakukan sehari-hari pun memelihara hati agar tetap hidup. Ucapan istighfar, tasbih, tahmid, takbir dan tahmid menjadi pelunak kerasnya hati. Menyerahkan diri sepenuhnya pada Tuhan, bertaubat dan bersyukur padanya adalah upaya untuk mengasah qalbu agar senantiasa tertuju pada-Nya.
Berkenaan dengan taubat, -berdasarkan kajian keagamaan dari Ust. Nasruddin Umar yang tayang di salah satu televisi nasional- dijelaskan bahwa taubat terdiri dari 2 macam yaitu Taubat Inabah dan Taubat Istijabah. Inabah adalah sikap taubat seorang hamba yang didorong oleh rasa takut terhadap dosa dan maksiat yang dilakukannya, sehingga terbayang malapetaka yang akan terjadi di dunia ataupun neraka. Sedangkan Istijabah adalah bentuk taubat seorang hamba yang malu terhadap kemuliaan-Nya dan malu akan setiap dosa dan maksiat yang dilakukannya.
Selain itu, ada beragam alasan seorang hamba melakukan upaya taubat. Pertama adalah taubat karena dosa. Kedua, taubat karena tidak melakukan ibadah sunnah padahal ada kesempatan. Ketiga, taubat karena tidak khusyuk dalam istighfar. Keempat adalah taubat karena merasa ada detik-detik tertentu dimana ingatan tidak tertuju pada Allah.
Melihat penjelasan di atas, mengertilah kita mengapa Rasulullah selalu bertaubat pada Allah. Padahal, Rasulullah telah dijamin masuk surga oleh Allah dan beliau ma’sum (terpelihara dari dosa). Rasul bertaubat bukan lagi karena dosa, namun karena sifat tawadu’ kepada Allah. Lantas bagaimana dengan kita? Apakah kita senantiasa bertaubat? Atau malah tidak peduli dengan taubat padahal diri ini berlumuran dosa?
Tempat terbaik untuk bertaubat adalah bulan Ramadhan. Maka bersyukurlah kita yang diberi kesempatan beribadah di bulan ini. Tinggal bagaimana sikap kita. Maukah kita memanfaatkan limpahan maghfirah dan rahim Allah di bulan ini?
~ Zahra Rabbiradlia ~