Sore tadi ada pembicaraan seru seputar ibu back to school di ruang obrolan Whatsapp grup Lab Belajar Ibu. Katanya, “Aku ingin sekolah lagi. Namun dengan gap year yang lama dan minim portofolio, aku bahkan tidak tahu mau ambil jurusan apa.”
Deg! Aku amat kenal dengan kalimat itu. Dulu, aku pernah mengatakannya.
Aku ingat sekali seorang teman pernah berkata, “Kamu itu beneran mau kuliah lagi atau mau kabur aja ke luar negeri karena penat sama kehidupanmu?”
Kala itu, aku tak dapat menjawabnya.
Melanjutkan kuliah memang top list impianku. Namun menjadikan itu sebagai escape point dari penatnya hidup (saat itu masih LDM dan harus nomaden rumah ortu dan mertua), amatlah tidak bijak. Aku jadi gegabah karena belum menemukan strong why kenapa aku ingin melanjutkan studi. Alhasil aku tak dapat membuat peta jalan yang strategis untuk mewujudkan mimpi itu.
| Baca juga: Perjalanan Panjang Menuju Awal dari ‘Ibu Back To School’ #1
Ya, kita harus menggali strong why dulu, sebelum mencari tahu jurusan, kampus, juga beasiswa sasaran. Jangan kebalik. Nanti semua elemen persiapan yang dibutuhkan jadi tak kuat. Terbukti, ketika aku sekadar ingin sekolah ke luar negeri, aku ditolak beasiswa Chevening dan Stipendium pada tahun 2018. Ketika aku evaluasi, ternyata personal statement aku masih dangkal sekali. Layaknya karangan yang dibuat-buat.
Karina Hakman (aku tahu teman-teman pasti mengenal beliau) pernah bercerita dalam sebuah forum beasiswa bahwa untuk menemukan strong why, ia harus banyak melakukan kontemplasi dan meminta petunjuk kepada Allah di sepertiga malam terakhir. Ya, tahajud bagi Teh Karin adalah jalan menemukan strong why itu. Hingga akhirnya, ia diterima sebagai awardee LPDP dan kuliah di Selandia Baru.
Jelas sudah. Strong why adalah sumbu dari pijar semangat perjuangan Ibu Back To School.
Bagiku, perjalanan menemukan strong why itu memakan waktu lama. Harus melalui puluhan kelas dulu, baik itu yang berkorelasi dengan pendidikan atau tidak, yang akhirnya membuatku sadar bahwa aku sangat ingin belajar digital marketing!
Oh, mengapa aku baru sadar sekarang!
Padahal, perilaku digital marketing sudah aku lakukan sejak 10 tahun lalu. Ya, sejak aku serius menjadi freelance blogger. Selain itu, aku pernah 7 tahun bekerja sebagai tim marketing & sales di perusahaan farmasi multinasional.
Ternyata, pertanyaan yang sulit itu, dijawab dengan sesuatu yang amat dekat denganku!
Setelah sadar bahwa yang sebenarnya ingin kupelajari adalah digital marketing, aku mengubah semua elemen persiapan sekolah. Dari yang tadinya mengumpulkan portofolio di bidang literatur, menjadi portofolio di digital marketing.
Kini aku mengerti mengapa seorang bijak selalu menganjurkan agar kita menyelami diri sendiri. Sebab semua jawaban itu adalah di sini, di hati kita.
Kembali ke obrolan di grup Lab Belajar Ibu, ada lagi yang mengatakan, “Aku bingung harus kuliah lagi atau tidak. Sekarang ini banyak kelas online yang menawarkan sertifikasi di bidang yang kuminati. Jadi urgensinya kuliah itu apa? Sedangkan banyak yang harus kita pikirkan seperti keluarga, finansial, dan lainnya.”
Ya, sejujurnya aku pun punya pikiran yang sama.
Untuk menjawab pertanyaan itu, kembali lagi, kita harus bertanya pada diri sendiri. Apakah dengan belajar online bisa memuaskan ceruk dahagamu?
Jika iya, maka ambilah kelas sertifikasi online itu. Namun bagiku, aku ingin mempelajari ilmu yang kuminati lewat media yang kuimpikan sejak lama, yakni kuliah di luar negeri. Selain itu, aku sudah mendapat restu dari suami untuk mewujudkan mimpi ini. Dari segi kesiapan keluarga, insyaallah keluarga siap ikut berpetualang denganku ketika kesempatan itu tiba.
Hal positif lain dengan ibu kuliah di luar negeri adalah terasahnya kemampuan survival, networking yang semakin luas, serta jejak langkah yang semakin jauh di bumi Allah. Insyaallah ada banyak sekali yang diraih.
Ibu, perjalanan ini memang tidak mudah. Namun selagi impian itu masih ada, jaga pancarannya. Mari kita sama-sama kobarkan lagi dengan saling mendukung dan menyemangati.
Bismillah…
Yokohama, Mei 2024