Cahaya redup dari tungku menerangi wajah Nurhasanah yang tengah bergelut dengan canting. Tangannya cekatan menari-nari di atas kain putih, menggoreskan motif-motif kehidupan laut yang begitu hidup. Ada bakau, udang, kerang, pidada, dan biota lain yang biasa ada di kawasan mangrove. Nurhasanah tak sendiri, ada sembilan lainnya yang turut serta mencanting batik di kawasan Pangkal Babu yang ada di Desa Tungkal Satu, Kab. Tanjung Jabung Barat, Prov. Jambi.

Batik Mangrove Pangkal Babu, demikian nama yang tersemat pada kelompok usaha ini, adalah jawaban atas keresahan ketika harga pinang yang semula merupakan komoditas utama perekonomian desa tak lagi bernilai. Namun, mulanya warga tak langsung menyetujui ide usaha batik ini. Bagaimana jika usaha itu gagal dan tidak dapat menyumbang nafkah setidak-tidaknya 150 ribu rupiah per hari seperti layaknya pinang? 

 

Nurhasanah sedang mencanting. | Sumber: IG: Kompas

Penolakan itu dimaklumi oleh Qorry Oktaviani, aktivis lingkungan yang ditugaskan oleh KKI Warsi untuk melakukan pendampingan konservasi alam di Desa Tungkal Satu. Perempuan lulusan ilmu biologi dari Universitas Andalas ini melihat bahwa pemahaman masyarakat tentang mangrove baru dari segi ekologis saja. Masyarakat memang sadar bahwa mangrove adalah garda terdepan pelindung desa dari abrasi pantai, tetapi optimisme pada potensi ekonomi mangrove masih abai. Padahal Desa Tungkal Satu dikelilingi hutan mangrove yang produk turunannya bisa memberikan nilai tambah bagi masyarakat. 

Oleh karenanya Qorry memulai upaya persuasif dengan mengedukasi warga bahwa flora dan fauna di kawasan mangrove dapat diolah menjadi produk usaha yang menjanjikan. Dengan jarak hutan mangrove dan rumah warga yang hanya sepelemparan batu, ia yakin mangrove adalah komoditas utama yang dapat membawa desa jadi lebih maju.

 

Potensi Mangrove Pangkal Babu yang Terabaikan

Desas-desus terdengar, Kampung Pangkal Babu di Desa Tungkal Satu adalah tempat tinggal orang bunian. Tempatnya angker, dipenuhi hutan-hutan bakau sehingga tak banyak orang yang pergi ke sana. Namun di tahun 1994, orang kota yang menganggap bunian hanya omong kosong, sekonyong-konyong membabat habis sebagian besar hutan mangrove. Sejak itu, hutan mangrove dialihfungsikan jadi tambak perikanan.

“Cari udang, kepiting, ikan jadi sulit. Semua tambak punya orang luar. Kami terasa seperti terusir dari kampung sendiri,” kenang Ahmadi, tokoh pelestarian mangrove di Pangkal Babu.

Operasional tambak berlangung sampai dua tahun. Hingga di tahun 1996, masyarakat Pangkal Babu merasakan dampak mengerikan. Abrasi pantai menyerbu kampung mereka, menyebabkan kebun kelapa terendam selama sebulan. Warga akhirnya sepakat mengusir pemilik tambak, yang meninggalkan begitu saja bekas lahannya.

Menanam Mangrove | Sumber: Qorry Oktaviani

Berbekal trauma bencana, warga desa sepakat mengembalikan mangrove di kawasan bekas tambak dengan menanam banyak benihnya. Namun, upaya pelestarian ini sempat dicemooh oleh sebagian warga yang menganggap remeh mangrove. Mereka berdalih bahwa bibit kelapa atau pinang yang seharusnya ditanam karena memberi manfaat langsung.

Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Upaya pelestarian ini akhirnya membuahkan hasil. Nelayan tak perlu lagi melaut sampai jauh karena di sekitar mangrove pun, udang, ikan, dan kepiting banyak ditemukan. Kawasan mangrove kian meluas dan daratan baru pun bermunculan hingga ratusan hektare. 

Gerakan memulihkan bakau selama puluhan tahun ini, diperkuat dengan adanya Perdes (Peraturan Desa) yang disahkan tahun 2022 oleh Pemerintah Desa Tungal Satu ini. Dengan adanya Perdes ini, peraturan menjadi lebih jelas. Perdes mengatur aktivitas warga dan pendatang melalui pembagian 3 zonasi, yakni zona pemanfaatan untuk mengambil ikan dan biota lainnya, zona hutan lindung yang mana warga dilarang mengambil apapun, serta zona wisata bagi wisatawan yang kini dikenal sebagai Ekowisata Pangkal Babu.  

“Perdes juga mengatur setiap warga yang menebang 1 pohon, harus tanam lagi 10 bibit,” tambah Ahmadi.

Sumber: Kompas

Praktik alihfungsi lahan mangrove yang terjadi di Pangkal Babu ini, faktanya terjadi di seluruh pesisir Indonesia. Laporan Yayasan Auriga Nusantara, seperti yang dikutip oleh Tempo, mencatat sekurang-kurangnya 152.369 hektare dari 3,03 juta hektare ekosistem mangrove di seluruh Indonesia mengalami alihfungsi lahan. 

Selain diubah menjadi tambak, ancaman lainnya adalah kegiatan industri yang menyulap mangrove menjadi area pertambangan timah ilegal, kebun sawit, penebangan kayu mangrove untuk briket, dan kegiatan nonvegetasi seperti pembangunan gedung untuk hotel dan pariwisata.

Kegiatan pengambilan manfaat mangrove tanpa dibarengi dengan upaya pelestariannya menjadikan status konservasi mangrove di Indonesia masuk dalam kategori rentan. Padahal mangrove berpotensi menyumbang karbon tiga kali lipat dari hutan biasa, sehingga alihfungsi mangrove ini sangat berbahaya bagi bumi. Meski Peraturan Presiden No. 92 Tahun 2021 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove sudah ditegakkan, yang salah satu komitmennya adalah penguatan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) serta rehabilitasi 600 hektare mangrove. tetapi realisasinya bak pungguk merindukan bulan.

Daripada menunggu birokrasi yang seringkali lempar tangan, masyarakat dan para aktivis lingkungan memulai langkah sebagai relawan. Peran inilah yang diambil Qorry Oktaviani. Dengan ilmu dan kecintaannya pada lingkungan, ia yakin bahwa pemanfaatan mangrove dan konservasinya dapat berjalan beriringan.

Batik Mangrove: Upaya Qorry Menyelaraskan Budidaya dan Konservasi Mangrove

Suara motor menderu saat Qorry melewati jalan setapak yang masih berupa tanah berbatu. Kali ini ia sedang menuju sebuah desa yang berjarak 137 kilometer dari Kota Jambi. Tubuhnya acap kali terguncang seperti sedang melakukan kegiatan offroad. Di musim hujan, jalan berubah jadi genangan lumpur yang sulit dilewati, memaksa penggunanya tanpa pilihan selain berjalan kaki.

“Kondisi jalan menuju Desa Tungkal Satu masih terbatas. Inilah yang menyebabkan akses warga dengan dunia luar terputus,” ujar Qorry.

Selama tiga pekan dalam sebulan, Qorry mengabdikan dirinya di Desa Tungkal Satu sebagai fasilitator rehabilitasi dan budidaya mangrove. Di permulaan, ia menyoroti kondisi jalan yang perlu diperbaiki agar akses menuju dan keluar desa jadi lebih mudah. Bersama warga, ia melakukan upaya memperkuat Perdes yang akhirnya menarik banyak stakeholder untuk ikut serta membangun desa.

Qorry di kawasan ekowisata mangrove Pangkal Babu | Sumber: Mongabay Indonesia

Upaya pendampingan lainnya adalah memperkuat aktivitas penanaman mangrove dan silvofishery atau sistem budidaya ikan, udang, atau kerang tanpa harus merusak atau menebang pohon bakau. Namun sayang, produksi perikanan masih dijual mentah sehingga tak memiliki nilai tambah. Qorry lantas bertekad untuk mendampingi warga dalam menciptakan produk usaha yang punya daya tawar tinggi. Bersama warga, ia memulai upaya pemberdayaan wirausaha dengan ide pengolahan udang menjadi produk makanan yang lebih bernilai, yakni kerupuk udang.

Usaha kerupuk menjadikan pendapatan warga terbilang. Keberhasilan ini memacu Qorry mencari inovasi bisnis lain yang lahir dari kawasan mangrove. Kali ini, aspek bisnis itu harus berkelindan dengan kearifan lokal yang bernilai estetika. Atas dasar itulah Qorry menggagas ide pembuatan karya cipta dalam selembar kain, yakni batik mangrove.

Meski unik, banyak warga menyangsikan usaha batik ini. Qorry perlu melakukan upaya persuasif untuk menanamkan mindset bahwa batik tak hanya sebuah produk usaha yang menjanjikan, tetapi juga membawa pesan konservasi mangrove serta penopang ekowisata Pangkal Babu.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Penolakan itu terobati ketika serorang perempuan yang rupanya pernah membuat batik, menyambut usulan Qorry. Perempuan itu adalah Nurhasanah.

Kelompok Batik Taman Sari | Dokumentasi Qorry Oktaviani

Nurhasanah kemudian didaulat sebagai ketua kelompok Batik ‘Taman Sari’ Pangkal Babu. Dengan pendampingan oleh Qorry, Nurhasanah dan 9 anggota lainnya merancang formulasi batik, dari mulai teknik membatik hingga pemilihan motif.

“Ketika diyakinkan bahwa batik dapat menopang ekowisata Pangkal Babu, ibu-ibu semakin giat belajar membatik. Dimulai dari Kak Nurhasanah sebagai pengajar, kami lalu mendatangkan pelatih khusus dan melakukan studi banding ke workshop batik di kota Jambi agar teknik membatik ibu-ibu kian berkembang baik dari segi pencoletan, warna dan penulisan,” ujar Qory.

Meski semua dimulai dengan peralatan serba terbatas, hal itu tak menyurutkan semangat kelompok batik. Di permulaan, masing-masing anggota mengumpulkan iuran sebesar 100 ribu rupiah untuk membeli peralatan yang dibutuhkan. Namun ternyata uang yang terkumpul belum cukup untuk membeli cetakan batik yang terbuat dari plat besi. 

“Inilah justru yang menjadikan keunikan Batik Pangkal Babu. Meski tak ada cetakan batik permanen, kami menyulap karton bekas susu dan mie menjadi cetakan batik,” tambah Qorry.

 

Cetakan batik dari kardus bekas. | Sumber: Mongabay Indonesia

Saat ini, batik mangrove memiliki 16 motif yang tak lain adalah biota di kawasan mangrove. Beberapa di antaranya adalah udang, kerang, kepiting, bangau, bakau (Rhizophora sp.), pidada (Sonneratia sp.), api-api (Avicennia sp), tancang (Bruguiera sp.), teruntum (Lumnitzera sp.), buta-buta (Excoecaria sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), perpat (Scyphyphora sp.) dan nipah (Nypa sp.).

Mulanya batik memakai pewarna tekstil biasa, baik itu untuk batik tulis maupun cap. Namun ketika perwakilan Dinas Perikanan Provinsi Jambi berkunjung ke Desa Tungkal Satu, Qorry diberikan ilmu baru bahwa kulit bakau dan buah pidada bisa dijadikan pewarna batik. Ia lantas menyambut usulan ini dan mencobanya.

Berbekal hasil belajar dari narasumber dan melihat video di Youtube secara otodidak, Qorry memulai percobaan dengan mengekstraksi warna merah dan cokelat dari kulit bakau dengan cara menumbuk dan merebusnya. Rupanya ekstraksi kulit bakau menghasilkan warna dasar batik yang bagus. Namun untuk buah pidada, mereka masih perlu banyak belajar.

“Kami sudah menggunakan pewarna alami dari kulit bakau, tetapi belum untuk semua batik. Perlu banyak pelatihan agar dapat menghasilkan warna yang bagus,” kata Qorry.

 

Sumber: @batikpangkalbabu

Berkat kegigihan kelompok batik ini, Batik Mangrove dari Pangkal Babu mulai dikenal masyarakat luas. Rata-rata produksi batik per bulannya mencapai 35 lembar batik dengan waktu produksi 1-3 minggu per lembar. Selembar batik dibanderol dengan harga Rp135.000-180.000 untuk batik cap, dan Rp300.000-Rp350.000 untuk batik tulis.

Pemesanan Batik Mangrove kian meningkat dan meluas hingga ke luar Jambi ketika Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, menyambangi kawasan Ekowisata Pangkal Babu bulan Maret lalu. Pak Sandiaga Uno mengapresiasi produksi batik sebagai penopang kawasan ekowisata yang tak hanya penting dalam peningkatan ekonomi daerah, tetapi juga peran ekologisnya dalam menekan jumlah emisi kargon dan menyerap kandungan logam berbahaya.

Dok: Qorry Oktaviani

“Sebelum membatik, ibu-ibu bekerja sebagai buruh kasar di kebun kelapa atau pinang tanpa keterampilan khusus. Sekarang mereka jadi lebih percaya diri dan produktif karena bisa menghasilkan batik yang bernilai seni dan dikenal  luas,” ucap Qorry bangga.

Selain membuat batik, kelompok ini pun rutin turut serta mananam bibit mangrove sebagai upaya pelestariannya. Rupanya dalam selembar batik, terlukis cerita indah akan upaya pelestarian ekosistem mangrove. Inilah keunikan Batik Mangrove, yang seakan bercerita pada dunia bahwa mangrove adalah jantung kehidupan masyarakat Pangkal Babu.

Batik Mangrove dan Apresiasi SATU Indonesia Awards

Sumber: @batikpangkalbabu

Tak hanya membawa manfaat bagi perekonomian masyarakat dan lingkungan, dedikasi Qorry dalam melestarikan ekosistem mangrove ini telah membawanya melesat jauh. Di tahun 2023, Qorry dinobatkan sebagai salah satu penerima penghargaan SATU Indonesia Awards dari ASTRA. Penghargaan bergengsi yang mengapresiasi kontribusi anak bangsa dalam menciptakan inovasi dan memberi dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat ini, membawa perubahan besar bagi Batik Mangrove dan Ekowisata Pangkal Babu. 

“Apresiasi ini memberikan perubahan positif bagi kami. Selain memberikan dana hibah untuk pengembangan batik, ASTRA pun membuka peluang bagi kami untuk berkolaborasi dengan pihak luar,” ucap Qorry bangga.

Berkat apresiasi tersebut, nama Batik Mangrove semakin dikenal luas. Identitas batik yang melekat pada Ekowisata Pangkal Babu, menjadikan wisatawan yang datang ke sana kian meningkat. Dengan tiket masuk Rp5.000 dan jumlah kunjungan mencapai rata-rata 300 orang per hari, pemasukan dari ekowisata ini bisa mencapai lebih dari 45 juta rupiah per bulan.

Begitupun dengan pembelian Batik Mangrove sebagai suvenir wajib bagi wisatawan yang berkunjung ke Ekowisata Pangkal Babu, penjualannya kini semakin meningkat dan bahkan ada permintaan yang datang dari luar Jambi. Pencapaian ini merupakan bukti bahwa eksistensi Batik Mangrove telah menopang Ekowisata Pangkal Babu.

Dengan ekosistem dan dukungan untuk pelestarian lingkungan, sebuah desa yang dulunya nyaris hancur, bisa tumbuh menjadi ekowisata yang meningkatkan perekonomian desa. Qorry telah berhasil melanjutkan estafet perjuangan Ahmadi, Nurhasanah, dan warga Desa Tungkal Satu lainnya dalam upaya pelestarian Mangrove di kawasan Pangkal Babu.

Kini, dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang menjulang dan pariwisata yang berkembang, para pendahulunya pasti sedang tersenyum melihat upaya Qorry dalam melestarikan konservasi mangrove dalam sebuah karya cipta unik, yakni batik.

                 Sumber:

#BersamaBerkaryaBerkelanjutan #KitaSATUIndonesia

21 Comments on Mencanting Konservasi Mangrove dalam Selembar Batik: Ekonomi Menjulang, Wisata Berkembang

    Uniek Kaswarganti
    November 17, 2024

    Qorry luar biasa yaa.. meskipun menghadapi hambatan dari masyarakat sendiri, dia tetap bersikukuh untuk mengembangkan batik dari mangrove.
    Kebayang deh sekarang betapa bahagianya masyarakat Pangkalan Babu, ekonomi mereka bisa meningkat dengan adanya Batik Mangrove maupun produksi kerupuk udang yang permintaan pasarnya cukup tinggi.

    0
    0
      Zahra Rabbiradlia
      November 24, 2024

      yes betul mba uniek. mereka bisa berkembang dengan resource yang ada di desa mereka sendiri. dengan sentuhan kreativitas dan dukungan dari Qori, mereka jadi berkembang.

      0
      0
    Yola Widya
    November 17, 2024

    Model konservasi mangrove yang menginspirasi. Keren banget batik dari bakau

    0
    0
      Zahra Rabbiradlia
      November 24, 2024

      yes inovasi banget ya

      0
      0
    Okti
    November 16, 2024

    Bagus banget ternyata ya hasil dari Batik Mangrove ini.
    Alhamdulillah itu bisa bantu meningkatkan pendapatan. Apalagi pesanan nya bisa sampyke luar Jambi. Jasa Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yg kala itu dijabat Sandiaga Uno, ya...

    0
    0
      Zahra Rabbiradlia
      November 24, 2024

      iya betul. kunjungan pak Sandiaga juga nge-boost popularitas batik mangrove ini

      0
      0
    Efi Fitriyyah
    November 16, 2024

    Qorry ini keren banget ya, Ijah., Banyak hal yang terimbas positif dari alih fungsi hutan mangroove. Batik-batiknya cantik banget, ga nyangka itu dihasilkan dari bakau. Semoga eksperimen dari buah pidada juga segera menghasilkan

    0
    0
      Zahra Rabbiradlia
      November 24, 2024

      iya masih trial error untuk buah pidada itu. semoga nanti ketemu formulasinya yang bagus ya

      0
      0
    Inda Chakim
    November 16, 2024

    Di tempat tinggalku sini ada konservasi mangrove juga. Cuma koq kayaknya belum ada gebrakan apa-apa. Kemarin sempat bikin wisata mangrove, cuma ya gitu, mandeg. Ah semoga konservasi mangrove di tempat tinggalku bisa sekeren ini juga. Aamiin. Doaku untuk konservasi mangrove pangkal babu, semoga makin keren luar biasa

    0
    0
      Zahra Rabbiradlia
      November 24, 2024

      berarti memang harus diboost dengan ekonomi kreatif agar semakin berkembang

      0
      0
    Fenni Bungsu
    November 16, 2024

    Sambil menjaga lingkungan dengan menanam mangrove ternyata bisa pula ya menghasilkan batik yang cantik. Keren ini inovasinya kak Sorry. Semoga terus berkelanjutan kedepannya

    0
    0
      Zahra Rabbiradlia
      November 24, 2024

      Aamiin.. semoga ekonomi di pangkal babu semakin berkembang

      0
      0
    Efi Fitriyyah
    November 16, 2024

    Qorry ini kren banget, banyak hal yang terimbas positif dari alih fungsi hutan mangroove. Batik-batiknya cantik banget, ga nyangka itu dihasilkan dari bakau. Semoga eksperimen dari buah pidada juga segera menghasilkan

    0
    0
      Zahra Rabbiradlia
      November 24, 2024

      iya masih trial and error untuk pidada ini. semoga segera ketemu formulasi terbaiknya ya

      0
      0
    Diah Woro
    November 16, 2024

    Mangrove memang benar-benar jadi senjata buat pemecah ombak di pesisir. Lagipula jadi banyak ikan yang bertelur. Dan ada buah mangrove yang bisa dimakan juga lho, dijadiin bumbu rujak kalau ga salah

    0
    0
      Zahra Rabbiradlia
      November 24, 2024

      wah serius mba? baru tahu ada buah mangrove yang bisa dijadiin rujak. so interesting

      0
      0
    Elly Nurul
    November 17, 2024

    Setuju banget, sudah pasti para pendahulu Qoru tersenyum bahagia kerena melihat upaya Qorry dalam melestarikan konservasi mangrove dalam sebuah karya cipta unik, yakni batik.. sebuah karya kebanggaan dari anak bangsa untuk negeri Indonesia tercinta

    0
    0
      Zahra Rabbiradlia
      November 24, 2024

      yes :)))

      0
      0
    Shinta
    November 17, 2024

    Keren sih inisiatifnya Qori ya apalagi hutan mangrove tuh memang dibutuhin bgt di jaman sekarang yg polusi dan kualitas udaranya tuh makin memprihatinkan plus jg utk antisipasi tsunami

    0
    0
      Zahra Rabbiradlia
      November 24, 2024

      yes bener. benar2 inspiratif upaya Qori ini

      0
      0

Leave A Comment

"STEAM yang dipadukan dengan kemampuan komunikasi, determinasi, kegigihan, dan partisipasi jadi aspek yang dicari pencari kerja di abad ke-21."
Dr. Marshall Schott, Ph.D.
President of Sampoerna University
"STEAM yang dipadukan dengan kemampuan komunikasi, determinasi, kegigihan, dan partisipasi jadi aspek yang dicari pencari kerja di abad ke-21."
Dr. Marshall Schott, Ph.D.
President of Sampoerna University