Kesedihan akan hilang dengan pembelajaran yang mendapat petunjuk dari Guru.
Kitab Ta’lim Muta’alim
Saya masih sangat kepayahan sore itu. Tak bisa apa-apa, persis seperti lumpuh. Penyakit langka bernama Botulisme ini benar-benar membuat tubuh ini lemah tak berdaya. Semudah urusan ke toilet saja, saya harus memakai kursi roda. Racun yang dikeluarkan Botulinum Bacteria ini membuat otot di seluruh tubuh melemah, tak terkecuali otot mata yang membuatnya jadi sayu, juga otot tenggorokan yang membuat saya tak bisa makan dan minum.
Lendir ini…
Saya tak bisa mengeluarkannya sendiri. Entah berapa kali saya coba untuk mengeluarkannya dengan cara batuk, namun yang terjadi adalah tenggorokan ini menjadi semakin sakit. Mulut ini pun masih terasa kering, tiada pelumas bernama ludah yang biasa bersemayam di dalamnya. Pneumonia yang saya derita menambah payah keadaan ini. Lagi, saya harus memanggil perawat untuk melakukan suction, atau penyedotan lendir dengan bantuan selang. Sakit. Nyeri. Merana.
Al-Qur’an…
Dengan perlahan, saya mengambil Al-Qur’an dan mulai membacanya. Tetap saja, ini terasa sulit. Seluruh kalam Allah itu berbayang, sampai saya tak bisa membedakan ت ث ن juga ف ق. Meski itu saya terus mencoba, hingga akhirnya air mata ini luruh membasahi pipi.
Apalah ini? Apa saya bisa membacanya lagi?
Sembari menggugu di senja itu, saya coba bangkit perlahan, duduk, lalu tayamum dan shalat. Saya pasrahkan segalanya, meski rasa takut amat lekat di bayangan. Ketakutan bila semua yang telah diupayakan dan digaungkan menjadi tak lagi sama. Kala itu, masa depan nampak amat suram. Namun Allah meneguhkan hati ini dan membuatnya bangkit untuk mengadu pada-Nya. Seusai merapal doa, Allah menggerakan hati ini untuk mengabari seseorang.
Teh Nati…
Perlahan, saya mengambil gawai dan mengirim pesan suara kepada Teh Nati. Tak lama, beliau membalas dengan pesan suara, yang entah bagaimana mampu memberi sinar di mendungnya hati ini.
“Zahra, masyaallah. Zahra dipilih Allah di antara banyaknya umat Nabi Muhammad. Dengan Allah memberi ujian, artinya Allah tahu Zahra bisa melaluinya.”
“Dan ingatlah, kita tidak diminta untuk menaklukan ujian, karena kita tidak mungkin bisa kecuali dengan izin-Nya. Kita hanya diminta untuk menghadapi ujian ini. Insyaallah Zahra dimampukan.”
“Apapun yang Zahra lakukan di rumah sakit bisa jadi ibadah, ketika Zahra melihatnya sebagai ibadah. Apakah itu sehat atau sakit, jika di antara itu bisa jadi kendaraan kita meraih ridho Allah, maka itulah yang terbaik.”
“Lakukanlah yang terbaik dengan berdzikir, doa, bershalawat, lalu lepaskan hasilnya pada Allah. Teteh terus doakan Zahra dari sini. Teruslah yakin Allah tahu yang tebaik dan Allah cinta Zahra.”
Awan mendung di hati ini, tiba-tiba meluruhkan hujan yang menyuburkan rasa syukur dalam diri. Saya akan melalui ini, dengan sebaik-baik sikap, sebaik-baik pengharapan, sesuai dengan kemampuan diri.
Malam itu, untuk pertama kalinya, saya merasa amat beruntung di tengah sakit ini. Saya lewatkan malam dengan mendengar rekaman kisah turunnya kitab shalawat yang dikirimkan Teh Nati. Sungguh kisah yang menggetarkan, namun juga menghantarkan saya untuk tidur dengan nyaman.
Pemahaman baik itu telah datang, juga rasa gembira yang membuncah dalam hati.
Begitu menyejukkan.
Amat menenangkan.
Selepas dinyatakan sembuh dari Botulisme, Allah beri saya kesempatan yang amat berharga untuk bisa berguru pada Teh Nati dan juga gurunya yaitu Bapak Acep Hilman Miftahurojak. Setiap hari, saya dibimbing Bapak belajar cara belajar melalui Kitab Ta’limul Muta’alim, dan mengkaji makna selawat dalam Kitab Dalail Wushul yg saya yakini sebagai titik kesembuhan saya.
Sejatinya, sejak 2 tahun yg lalu saya sudah menyampaikan niat untuk berguru langsung pada Teh Nati. Hanya saja, saya harus melalui perjalanan hidup penuh liku dulu, baru kemudian Allah sampaikan saya pada pengajaran Bapak dan Teh Nati yang rasanya begitu istimewa.
Saya harus melalui dulu rasanya tidak bisa melakukan apapun, pedihnya kehilangan rumah karena kebakaran, pahitnya perpisahan kedua orang tua, rasanya dihinakan orang lain, serta kehilangan hal-hal yg telah saya usahakan.
“Mengapa saya diuji dengan musibah besar selama 2 tahun ini?” tanya saya suatu hari.
Pertanyaan besar itu, yg mulanya saya pahami sebagai ketidakberuntungan hidup, rupanya menjadi jalan bagi saya untuk menemukan guru. Keadaan hati yg telah diterpa kejadian-kejadian itu, menjadikan pengajaran yg saya dapat sungguh bernilai, serta mampu meluaskan cakrawala berpikir saya.
Rupanya, sakit ini tak melulu tentang pilu. Sakit juga melahirkan perkara yang menggembirakan, serupa dengan rasa bahagia ketika berkelana di bumi Allah nan luas. Sakit adalah juga sebuah perjalanan, dalam ruang lingkup spiritual.
Seandainya manusia mengetahui bahwa nikmat Allah dalam musibah itu tidak lain seperti halnya nikmat Allah dalam kesenangan, niscaya hati dan lisannya akan sibuk mensyukurinya.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Syifa’ul ‘Alil