Meski tak jadi bertemu, aku mencari informasi tentang Agustinus Wibowo lewat internet. Ternyata beliau adalah seorang jurnalis dan penulis hebat. Aku merasa tersindir karena baru mengetahui nama dan karya beliau pada tahun 2013. Zahra, where have you been?
Saat ini aku sedang membaca Garis Batas, buku kedua Agustinus Wibowo. Buku ini menceritakan perjalanan beliau di negeri-negeri stan, sebuah negeri impian bagi seorang Afghan. Seperti biasa, aku seakan diajak bersama mengarungi sebuah negeri dengan dunia literasi. Di tangan beliau, cerita rumit sekalipun menjadi sangat asyik. Ah, aku sangat ingin bertemu dan mencerna ilmu darinya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba! Saat sedang asyik-asyiknya membaca Garis Batas, aku menemukan informasi mengenai bedah buku Garis Batas di Masjid Salman ITB. Betapa ini adalah kesempatan yang tak boleh kusia-siakan. Aku harus datang kesana, demi menuntaskan rasa penasaranku sejak tahun 2013.
Garis Batas yang kupinjam dari Imazahra 😛 |
Gumaman kecewa terlontar dari peserta bedah buku. Menyayangkan kenapa buku itu bisa habis. Untung saja aku bisa membaca buku ini setelah meminjam dari Mba Imazahra. Aku meminjam buku ini sejak dua bulan lalu dan sampai sekarang belum selesai! Selain karena aku sambi dengan membaca buku lain, aku begitu menikmati setiap kata yang Mas Agustinus tulis di buku ini.
Agustinus Wibowo, seorang pemuda Lumajang yang menamatkan pendidikannya di jurusan komputer Universitas Tsinghua Beijing, bercita-cita untuk menjadi seorang jurnalis selepas kuliah. Meski tak memiliki pendidikan jurnalisme, -dan tak berniat untuk mengambil jurusan tersebut- Agustinus yakin bahwa Ia bisa menjadi jurnalis dengan banyak melakukan perjalanan. Maka Ia memutuskan untuk berkeliling dunia dengan bermodalkan uang 2000 dolar, uang yang ditabungnya selama masa kuliah. Perencanaan disusun. Perjalanan dimulai dengan menjelajahi negara-negara dari China hingga Afrika Selatan selama 5 tahun.
Dengan uang yang pas-pasan, Agustinus harus memutar otak agar uangnya tak cepat habis selama perjalanan. Dari Beijing, Agustinus menumpang bis dan truk menuju Tibet. Di Tibet, Ia menyamar menjadi seorang warga China agar bisa mendapatkan akses gratis masuk tibet. Karena menyamar menjadi warga China ilegal, Agustinus harus berkejaran dengan polisi dan tentara. Bayangkan itu!
Dari Tibet, Agustinus melangkah maju menuju Nepal, India, kemudian tinggal di Pakistan selama 6 bulan. Setelah itu, Ia memutuskan tinggal di Afghanistan selama 3 tahun lamanya. Agustinus telah menjelajahi semua sisi Afghanistan. Bahkan Ia pernah tinggal di Kandahar, -daerah paling berbahaya di Afghanistan- dengan menyamar sebagai seorang muslim.
Ada satu daerah, di sebelah timur laut Afghanistan, yang disebut-sebut sebagai surganya Afghan. Itulah koridor Wakhan. Di tempat ini, tak pernah terjadi perang saudara. Tak ada Uni Soviet, pun begitu Taliban. Koridor Wakhan adalah daerah artifisial untuk membatasi kekuasaan dari dua imperialis raksasa, yakni Rusia dan British India.
Di koridor Wakhan ini, Agustinus dibuat takjub oleh sebuah sungai yang membatasi koridor Wakhan dengan negara-negara jajahan Rusia. Itulah sungai Amu Darya, yang membentang sejauh 5000 km. Saat musim panas, sungai ini memiliki lebar 100 meter, sedang saat musim dingin menciut menjadi 20 meter. Sungai ini seperi tembok tembus pandang, membatasi Afghanistan dengan Tajikistan dan negara jajahan rusia lainnya.
Dari tepian sungai Amu, Agustinus dapat melihat kehidupan negeri di seberang sungai yakni Tajikistan, yang kentara sekali perbedaannya dengan Afghanistan. Di negeri impian itu, terdapat listrik, mobil, rumah indah, jalan mulus, tentara dengan senapannya dan janji kehidupan yang lebih baik.
Hanya selebar 20 meter, namun Agustinus harus menempuh perjalanan beribu-ribu kilometer untuk sampai ke Tajikistan. Ia harus kembali ke Kabul untuk mengurus visa -dengan birokrasi penuh korupsi- untuk kemudian diizinkan masuk ke Tajikistan.
Ya, sungai Amu adalah garis batas yang memisahkan manusia dalam negeri-negeri. Agustinus menegaskan bahwa garis batas memisahkan manusia dalam kotak-kotak tersendiri. Memisahkan kehidupan dalam misteri-misteri. Memisahkan takdir dan mimpi.
Kejutan lain dari Agustinus Wibowo adalah buku ketiganya, yakni Titik Nol, akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Selain itu, Agustinus memiliki mimpi besar tentang Indonesia. Agustinus ingin menulis tentang Indonesia. Jangan sampai melulu orang asing yang menulis tentang Indonesia.
Indonesia adalah misteri. Indonesia memiliki kemiripan dengan negara-negara berakhiran stan, yakni memiliki bahasa, suku, agama dan ideologi yang sangat beragam. Sebuah perbedaan yang mudah sekali untuk dipecah-belah. Hingga pada tahun 1998 saat Indonesia chaos, banyak yang meramalkan bahwa Indonesia akan bernasib seperti negara-negara pecahan Uni Soviet.
Namun itu tidak terjadi!
Untuk itulah Agustinus ingin melakukan perjalanan panjang keliling Indonesia untuk menemukan jawaban atas misteri besar Indonesia: Apakah hal yang menyebabkan Indonesia tetap bersatu dalam keanekaragaman?
Sebagai penggemar tulisan Agustinus, aku sangat menantikan karyanya.
Sukses terus Mas, Indonesia butuh penulis besar seperti dirimu. 🙂