Mendung itu masih saja bergelayut di langit kota Makkah. Belum usai nestapa karena kehilangan Abu Thalib, lelaki mulia yang kelahirannya mampu memadamkan Api Suci kaum Majusi itu harus pula melepas kepergian istri yang amat dicintainya, Siti Khadijah.
Dalam waktu yang nyaris berdekatan, Rasulullah kehilangan dua sosok mulia yang selama ini jadi pelindung dan pemberi sokongan di perjuangan dakwahnya. Pilu yang Baginda Nabi rasakan dibaca dengan amat cerdik oleh kaum kafir Quraisy yang melancarkan serangan bertubi-tubi padanya. Bentuk penganiayaan itu semakin kuat, keras, dan tak beradab. Hati siapa yang tak lara menerima itu semua? Beliau tertolak dari perlindungan, kasih sayang, dan penerimaan kaumnya sendiri.
Kecaman dari kaum kafir Quraisy semakin meluas, seakan tak ingin melewatkan momentum titik nadir Sang Nabi. Jelas sudah, tak ada harapan di tanah kelahirannya ini. Maka ia pun beranjak pergi, menempuh perjalanan penuh pilu menuju tanah harapan, Thaif.
Thaif bukan sekadar tujuan bagi Nabi untuk meminta bantuan dan perlindungan, melainkan juga tempat yang menyimpan kenangan manis bersama ibu susunya, Bunda Halimah, yang mengajarkan budi bahasa yang luhur. Pada keluarganya yang ada di Thaif, Nabi meminta perlindungan dan kuasa untuk menyebarkan ajaran Islam di sana. Namun pada kenyaataannya, Nabi dihujat dan disiksa oleh nyaris seluruh penduduk Thaif, tak terkecuali anak kecil.
Penghinaan ini sejatinya cukup menjadi alasan Nabi untuk menerima tawaran Jibril. Alih-alih setuju tentang ide memorak-porandakan Thaif dengan hantaman gunung, beliau memilih untuk mendoakan penduduk Thaif agar kelak diberi hidayah oleh Allah Swt., serta menerima ujian ini dengan sabar.
Inilah Amul Huzni atau tahun duka cita Rasulullah yang terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Peristiwa pahit ini, rupanya melahirkan peristiwa Isra Mikraj yang membahagiakan hati Sang Nabi. Allah menghadiahkan Muhammad Al-Musthafa sebuah perjalanan agung dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang kemudian dilanjutkan hingga ke Sidratul Muntaha. Di sana, Baginda Nabi bertemu dengan Allah Swt. dan diberi hadiah berupa salat lima waktu.
Tiada sekat antara Nabi Muhammad dan Allah Swt. dalam jamuan agung itu. Beliau bahkan duduk dalam hamparan yang sama dengan Allah Swt.. Inilah penghormatan tertinggi yang diterima oleh Rasulullah, yang bahkan Jibril pun tak sanggup melihat Cahaya Keagungan Allah Swt..
â €
Lihatlah, bagaimana sesuatu yang mulanya terlihat sebagai penolakan, ternyata hakikatnya adalah pemberian.
Melalui Isra Mikraj dan tahun duka yang melatarbelakanginya, Rasulullah mengajarkan akhlak terpuji dalam menyikapi kesedihan. Semua itu beliau hadapi dengan sebaik-baik sikap dan seluhur-luhur budi, hingga akhirnya berbuah manis.
Mulai saat ini, mari kita lihat peristiwa Isra Mikraj tak hanya dari sisi keajaibannya. Namun, lihatlah itu sebagai momentum untuk merenung lebih dalam akan warisan budi pekerti luhur di dalamnya. Semoga dengan begitu hidup kita jadi lebih tertata, dalam perjalanan hidup yang dinaungi cinta pada Baginda Nabi Muhammad saw.