Semakin dewasa, aku jadi mengerti bahwa memiliki values yang selaras dengan karakterku adalah kunci kebahagiaan hidup. Menjadi moderat dan fleksibel dalam apapun peranku, rupanya adalah values yang kucari.
Menariknya, values ini baru kusadari akhir-akhir ini. Setelah menempuh banyak kegagalan hidup, ujian besar pada diriku dan kehidupan pernikahanku, aku menemukan hadiah berupa pemahaman ini. Dengan menjadi fleksibel, aku punya kendali yang seimbang dalam tarik ulur kehidupanku. Ibarat pengemudi, aku jadi tahu kapan waktu yang tepat untuk menginjak gas, sekaligus sadar kapan saatnya beralih pada pedal rem.
Maka itu, izinkan aku berkelana ke masa lalu. Saat di mana tsunami ilmu membuncah dalam pikiranku, yang anehnya malah menimbulkan keresahan atas segala hal yang kulakukan saat itu.
Pertama, ketika menjadi ibu. Dulu aku merasa bersalah, amat bersalah malah, jika aku memberikan screen time pada anak. Sebab katanya, parenting yang ideal adalah seperti itu. Padahal aku butuh me time untuk menyegarkan diri dari segala hiruk pikuk membesarkan anak di luar negeri.
Kedua, ketika masa awal jadi istri. Saat itu aku memiliki prinsip bahwa menaati suami haruslah utuh. Jangan ada bantahan, begitupun adu argumen. Sebab katanya, istri yang ideal sesuai aturan agama adalah seperti itu.
Ketiga, ketika jadi anak. Aku harus berbakti pada orang tua tanpa mempedulikan pendapatku sendiri. Sebab katanya, itu adalah ciri anak berbakti.
Keempat, ketika jadi perempuan. Aku rasa, pekerjaanku yang utama adalah dengan mengenyampingkan urusan pribadiku sendiri demi keluarga. Alhasil aku acuh pada penampilanku, mengabaikan mimpi-mimpiku, bahkan tak mampu untuk sekadar menyampaikan keinginanku.
Jika aku tidak melakukan itu semua, aku merasa ketinggalan kereta. Merasa jadi perempuan, istri, ibu, dan anak yang tidak baik.
Namun kini, perjalanan hidup telah mengubah pemahamanku. Semua itu telah berganti.
Kini aku semakin sadar, bahwa dunia itu penuh warna. Tidak semua paham yg kutuliskan di atas adalah 100 persen benar. Bahwa ternyata khazanah ilmu hidup itu amat luas.
Sebagai ibu, ternyata aku boleh memberi screen time pada anak karena ternyata ada rules-nya. Tentang berapa lama waktu nonton, apa yg ditonton, dan stimulasi apa yg bisa kulakukan pasca anak nonton. Malah dengan menjadikan teknologi sebagai alat asuh, aku merasa perkembangan anak-anakku jadi baik. Aku pun belajar bagaimana berkomunikasi dan menggali minat anak. Tentu saja semua itu kulakukan dengan pengawasan. Aku dan suami memilih aplikasi belajar yang sesuai usia anak, juga channel Youtube yang mampu meningkatkan kemampuan bicara, wawasan, dan imajinasi anak. Setelahnya, aku jadi bisa melakukan stimulasi dengan bertanya pada mereka tentang hal-hal apa saja yang mereka tonton, sama-sama bernyanyi, atau melakukan role play dalam tontonan yang mereka suka.
Sebagai istri, aku boleh mengemukakan pendapat dan berselisih paham dengan suami. Bukan hanya manut saja. Dengan memiliki pola komunikasi dua arah ini, kehidupan pernikahan kami semakin sehat. Kami semakin tahu karakter masing-masing dan ini memiliki efek besar bagi pembentukan values keluarga. Memang di awal ada kesan aku adalah istri yang tidak patuh. Tapi seiring berjalannya waktu, dengan doa dan ikhtiar belajar, suami pun mulai lunak. Argumentasi menjadi hal yang lumrah kini. Tentu saja tanpa intonasi yang tinggi, dan tetap mengutamakan adab pada suami.
Sebagai anak, ternyata aku sangat bisa mengungkapkan keinginanku pada orang tua. Mana saja hal-hal yang bisa kuwujudkan bagi mereka, mana yang tidak. Sebab hidup ini juga adalah tentang kita. Bila kita cukup beruntung memiliki orang tua pembelajar dan peduli seutuhnya, maka memenuhi segala keinginan mereka takkan terasa sulit bagi kita. Namun, bila ternyata kita diuji oleh karakter orang tua yang tidak seharusnya begitu, sabarlah. Memang di awal terasa sulit dan membingungkan. Apakah ini bentuk bakti, atau masuk dalam jerat diperalat? Hati kita sebenarnya tahu jawabnya. Hanya mungkin karena takut dicap durhaka atau malas berselisih, kita manut saja. Padahal sebagai anak, kita juga punya hak pendapat, punya hak menggunakan uang sendiri, dan punya hak berjalan menuju cita-cita.
Sebagai perempuan, aku boleh dan amat sangat dianjurkan untuk terus berdaya. Mau jadi ibu pekerja, pebisnis, pembelajar, content creator, apapun itu, menjadi istri dan ibu bukanlah penghalang untuk mengejar mimpi. Malah dengan terus berdaya, kita akan semakin terampil sebagai ibu. Beda sekali rasanya ketika murni menjadi ibu versus ketika mengerjakan proyek menulis. Aku langsung pandai mengatur waktu, menjadi pemikir cepat, koki yang cekatan, fokus ketika bermain dengan anak, dan memiliki tidur yang berkualitas. Mengapa? Karena jika aku ingin memiliki waktu me time yang banyak untuk pekerjaanku, urusan domestik haruslah diselesaikan dengan tepat dan cepat. Jika tidak ada stimulus berupa pekerjaan di luar kewajibanku sebagai ibu, biasanya aku cenderung take it for granted dan berjalan di tempat saja.
Berdaya dan Peduli Bukan Berarti Harus Melulu Ideal
Memang benar, tidak semua hal yang kutuliskan di atas selalu bisa kita lakukan dengan ideal. Lagi dan lagi, kita akan menjumpai masa di mana kita abai pada diri sendiri. Sebab bukanlah hidup memang begitu? Justru hidup akan menarik kalau tidak melulu ideal. Seorang ibu pun pasti akan menjumpai gap time di manapun tahapan kehidupannya, misal ketika harus fokus membesarkan anak-anak yg masih kecil atau ketika menjumpai masalah rumah tangga yg membuat mental jatuh. Namun kabar baiknya, masa untuk bangkit itu akan selalu ada di depan sana.
Bukankah sesusah kesulitan itu ada kemudahan?
Marilah kita pegang itu.
Duhai perempuan, jangan terlalu lama abai pada dirimu sendiri. Cita-citamu, jangan pula dikubur terlalu dalam. Mari kita gali kembali, bangkitkan lagi impian kita yg sempat tertunda. Tentang bagaimana kita melihat diri kita di masa depan. Itu juga adalah hak kita sebagai manusia, sebagai perempuan.
Aku pikir, values ini adalah kado terindah dalam perjalanan usiaku yg kian melewati angka tiga. Jadi moderat dalam peranku yang utuh sebagai perempuan.