Gunung Rinjani |
Rasa kantuk nyatanya telah hilang sepenuhnya saat air dingin membasuhi kulitku saat berwudhu. Saat itu pukul 4 pagi, dingin sekali rasanya. Aku sedang berada di Desa Sembalun. Desa yang terletak di ketinggian 1.156 km ini merupakan desa di kaki Gunung Rinjani. Saat membuka pintu penginapan, pandanganku langsung tertuju pada Rinjani yang berdiri kokoh. Seakan ingin menunjukkan kepada siapa saja tentang tugas yang dibebankan Tuhan padanya, yakni sebagai pasak pengokoh bumi.
Bodohnya aku, sudah tahu mendaki, aku sama sekali tidak membawa sepatu gunung. Hey, ini cuma bukit kan? Bayangan perbukitan di Dieng melintas. Bukit, yang menurut penerawangan awamku bukanlah sebuah medan yang begitu berat, membuatku yakin bahwa dengan hanya mengenakan sepatu Crocs, aku sudah merasa cukup.
Medan Pergasingan |
Ternyata aku salah. Seribu topan badai salah! Bukit Pergasingan bukanlah seperti bukit pada umumnya, yang cukup dengan mudah untuk mendakinya. Medan bukit ini sungguhlah terjal. Tak banyak ranting untuk menahan tubuh, hanya ada ilalang kering dan bebatuan. Bahkan konon katanya Pergasingan memiliki medan yang serupa dengan Rinjani. Pantas saja!
Dengan penuh ketegangan, aku meminta tolong pada pemandu kami pada saat itu. Berkali-kali aku kesulitan menemukan batu pijakan untuk mendaki, sebab sepatu Crocs ini sangat licin. Namun yang membuatku tak habis pikir adalah pemandu yang masih berusia sangat muda ini menggunakan sandal Swallow untuk mendaki.
“Saya sudah sering kesini mba. Bahkan penduduk Sembalun jaman dulu seringkali main gasing ke bukit ini. Itulah mengapa bukit ini disebut sebagai Bukit Pergasingan.”
Mulutku seketika menganga. Main gasing ke bukit seterjal ini?
Keterkejutanku tak hanya sampai di situ. Saat mendaki, kami berpapasan dengan seorang porter tanpa alas kaki yang membawa banyak sekali carrier dalam punggungnya. Ini terjal sekali, tapi beliau tampak mudah saja mendaki. Malahan pendakian kami disusul oleh beliau. Sungguh, keterbiasaan mampu membawa manusia melakukan hal-hal ajaib.
Jalur pendakian Bukit Pergasingan |
Hal lain yang membuatku merasa amat bersalah telah meremehkan bukit ini adalah puncaknya. Aku mengira bahwa puncak Bukit Pergasingan adalah tanah datar yang dapat kulihat dengan jelas dari titik pendakian. Namun nyatanya, puncak bukit ini terletak di belakang tanah datar itu. Ajaibnya lagi, medannya sungguh terjal luar biasa.
Teh Icha dengan latar Gunung Rinjani |
Masya Allah. Dari atas puncak bukit ini, Gunung Rinjani yang disinari mentari pagi tampak semain kokoh. Bubungan asap Barujari nampak terlihat, namun ajaibnya angin membawa asap itu ke arah barat sehingga tak sampai menyelubungi Desa Sembalun. Dari atas sini, kami sungguh dimanjakan dengan panorama alam yang aduhai indahnya. Pegunungan nampak mengelilingi Desa Sembalun yang di bawahnya jelas sekali terhampar permadani sawah hijau yang sangat memanjakan mata.
Apakah ini? |
Ada hal unik yang kutemukan di bukit ini. Di punggung bukit, aku melihat segerombolan sapi sedang memakan rumput. Aku mengira bahwa sapi ini memang dipelihara di atas bukit, namun ternyata sapi ini berasal dari Desa Sembalun. Setiap paginya, mereka mendaki bukit ini untuk memakan rumput. Untuk kesekian kalinya, mulutku menganga.
Pergasingan, terima kasih atas kejutanmu. Sampai jumpa nanti, insya Allah aku akan kembali ke Lombok 🙂
Haha iya! Duh tapi bikin penasaran sih kalau ga smpe atas :')