Sore yang cerah di pelataran parkir stasiun Rangkasbitung, Banten. Aku baru saja turun dari elf dengan mata setengah terpejam. Rupanya kantuk masih saja menjamah mataku. Perjalanan 1.5 jam dari Ciboleger menuju stasiun Rangkasbitung telah membawaku ke alam mimpi, walau sesekali terbangun karena mendengar suara teriakan sesama backpacker yang syok. Bagaimana tidak, elf ini melaju terlalu kencang. Maka tak heran ucapan geli itu muncul dari hati seorang Rahmi Wuriarti.

” Pak… Tolong pak… Jangan terlalu ngebut… Saya belum nikah!!! “

Demi mendengar dan menyetujui teriakan itu, sontak kami semua tertawa.

***

Deru lonceng dan pluit kereta api berpadu. Akhirnya kereta yang dinantikan tiba jua. Kereta ekonomi jurusan Merak-Angke ini akan membawaku kembali ke Stasiun Duri Jakarta. Ya, sudah tiba saatnya aku untuk pergi. Pergi untuk pulang. Pulang untuk kembali. Kembali pada siklus hidup yang mestinya aku lakoni.

Mestinya?

Kawan, kau harus tahu. Aku baru saja mengalami perjalanan dan kehidupan malam yang terasa panjang di desa terpencil di kabupaten Lebak Banten. Cibeo, itulah nama desa yang kusinggahi. Ada sekitar 600 jiwa yang tinggal disana. Kehidupan yang begitu berbeda dari apa yang biasa kujalani. Kehidupan yang menyatu dengan alam. Kehidupan yang menolak segala macam aktivitas modern. Kehidupan yang terasing. Terasing? Tidak. Lebih tepatnya sengaja mengasingkan diri. Kehidupan yang langka.

” Selamat datang di Baduy Dalam. Mari singgahlah sejenak disini. Rasakan indahnya alam menyatu dengan hatimu. Hey! Simpan kamera-mu! Disini kau tak diperbolehkan mengambil gambar. Untuk apa pula kau menggengam telepon itu. Simpan saja! Sungguh, tak ada sinyal disini. Biarkan.. Biarkan itu semua lepas darimu. Apa? Saklar lampu? Kau lucu sekali. Disini bahkan takkan kau temukan nyala neon. Duhai kau, disini tak ada listrik. Pakai obor ini saja! Terangnya cukup untuk menerangi dan menghangatkan. Dan hey! Simpan sabun badan, sabun rambut dan pasta gigimu itu! Kau tak boleh memakainya disini. Buihnya akan mengotori air sungai kami. Biarkan… Biarkan jernihnya air sungai membasuh tubuhmu. Rasakan segarnya air yang tak tercemar menjamah permukaan tubuhmu. “

Sungguh aku tak habis pikir. Ini Banten, Bung! Bolehlah kau ambil peta sekarang. Banten adalah provinsi paling barat di pulau Jawa dan ia dengan indahnya melekat sempurna dengan Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Dua provinsi dengan kemajuan peradaban modern yang luar biasa. Banten sendiri adalah provinsi dengan kemajuan teknologi dan ekonomi yang pesat. Namun begitu, masih kau temukan suku yang sengaja mengasingkan diri, yaitu suku Baduy Luar dan Baduy Dalam. Kepatuhan pada adat leluhur lah yang membuat mereka menolak segala bentuk kemajuan zaman.

“Medan menuju Baduy Dalam berat sekali mba. Lebih baik dibawakan saja oleh porter.”

Sontak kualihkan pandanganku pada asal suara bariton itu. Seorang bapak baru saja berkata padaku sembari menunjuk pada sekumpulan anak dan remaja baduy. Ia nampak sedang asyik berbincang dan merokok dengan sesamanya.

“Memangnya seberat apa pak?”, tanyaku sembari merapikan barang bawaan.

“Berat sekali. Perjalanan Ciboleger – Cibeo memakan waktu 4-5 jam. Ya tergantung dari fisik masing-masing orang. Banyak tanjakan berat dan turunan yang membuat lutut ngilu. 10 km menuju Baduy Dalam. Lebih baik dititipkan saja pada mereka.”

Demi mendengar ilustrasi perjalanan itu, kuputuskan untuk mengambil jasa porter. Pertimbangannya adalah aku ingin badanku tetap fit dan dapat bekerja dengan baik sepulangnya dari Baduy. Selain itu, aku bisa bertanya banyak pada porterku nanti. Ah ide yang cemerlang.

Ada banyak remaja baduy yang menawarkan diri untuk membawakan ranselku. Tapi aku hanya ingin anak tampan itu yang menjadi porterku. Namanya Sarid tapi biasa dipanggil Agus. Usianya 14 tahun dan fasih berbahasa Indonesia. Agus memakai baju berwarna hitam dengan kain putih yang diikat di kepala (pakaian khas warga Baduy Dalam). Lima belas menit kuhabiskan waktu berbincang dengannya. Agus nampak lebih tampan dan cerdas dibanding teman-temannya sesama baduy. Aku tak tahu lagi harus berkata apa selain aku suka akan senyum dan cara ia berbicara. Rupanya Agus tak hanya memikat hatiku. Beberapa waktu lalu, Agus didaulat oleh produser acara anak ‘Si Bolang’ yang tayang di Trans 7 sebagai ‘bolang’ pada saat acara itu meliput kehidupan suku Baduy. Cool!

Jelas sudah, aku ingin Agus yang menjadi porterku. Namun sayang seribu sayang, Agus telah diambil oleh yang lain. Hiks, anak lucu itu direbut orang. Maka dengan wajah penuh penyesalan aku berkata pada Agus, “sedih deh gak sama Agus dibawainnya”. Anak itu hanya membalas ucapanku dengan senyum dan gerakan tubuh yang lucu. Ah, jenaka sekali!

Lantas kupilih kang Juli sebagai porterku pada perjalanan ini. Kang Juli jauh lebih dewasa dibanding Agus. Usianya berbilang 20-an dan ia sama tampan-nya dengan Agus. Yang membuatku iri pada kang Juli adalah matanya yang lentik. Laki-laki bermata lentik. Bila saja kang Juli bukan suku Baduy, pasti banyak pekerja dunia hiburan saling berebut untuk mendaulatnya menjadi seorang aktor. Tampan sekali!

Ada fakta akurat yang ingin kusampaikan padamu kawan. Warga Baduy memiliki kulit yang bersih dan rata-rata dari mereka dianugerahi wajah yang tampan dan cantik. Sungguh aku ingin tahu. Aksi apa yang dilakukan pada kulit mereka. Dengan segala bentuk puji syukur pada Illahi, kang Juli si porter bermata lentik itu berkenan membuka rahasia kecantikan alami warga Baduy. Adalah dengan daun honje (kecombrang) para wanita Baduy merawat kecantikan kulit mereka. Cukup dengan menumbuk daun lantas diletakkan di kulit. Aku tahu honje itu seperti apa. Aku pernah memakannya sebagai campuran bumbu rujak khas Tasikmalaya. Rasanya enak sekali. Rupanya honje tak hanya enak di lidah, ia memiliki kandungan zat antioksidan dan antimikroba yang baik untuk kulit. Demi mendengar khasiat itu, kuputuskan untuk membawa daun honje dalam jumlah besar saat pulang nanti. Sudahlah, setiap wanita ingin tampil cantik bukan? 

“Kang Juli, kenapa orang Baduy tidak boleh memakai alas kaki dan naik alat transportasi?”, tanyaku membuka dialog siang itu.

Dengan senyumnya yang menawan ia membalas pertanyaanku, “Karena sudah ketentuan leluhur. Adatnya seperti itu.”

Ketentuan leluhur? Ya. Warga Baduy Dalam begitu menjunjung tinggi hukum adat leluhur. Kau akan kembali mendapatkan jawaban serupa jika kau bertanya mengenai alasan mengapa tidak boleh ambil foto di Baduy Dalam dan mengapa tidak boleh pakai listrik. Terkadang aku tak mengerti pola pikir ini. Mengapa aku bisa mengatakan demikian? Pulau-pulau kecil di timur Kalimantan saja, yang notabene jauh dari pusat ibukota, sudah dialiri arus listrik. Contoh saja Bohe Silian. Pulau ini kecil sekali kawan. Tapi kau dapat menemukan listrik dan alat transportasi disini. Kehidupan yang tampak hidup.

Perjalanan ini sungguh menyenangkan. Setidaknya itulah yang menggambarkan suasana hati saat trekking menuju Cibeo. Meski banyak tanjakan dan turunan curam yang melelahkan, ada banyak bahagia yang menyelimuti hati. Senang sekali saat pada akhirnya aku bisa meniti tanjakan bersama mba Siti, rekan kerjaku. Senang karena aku berkelana kembali dengan mba Katerina, seorang emak yang doyan jalan-jalan dan nulis. Senang karena aku berjumpa kembali dengan mbak Wuri dan mas Agus, rekan backpacker saat ke Derawan April lalu. Senang karena mba Andrie dapat memotretku kembali. Senang karena akhinya aku backpacker-an dengan mbak Ainee Wae, seorang wanita dengan predikat rempong yang nyata. 😀

Banyak hal yang kupikirkan sedari awal trekking. Kang Juli ditakdirkan lahir dari rahim seorang wanita Baduy. Sampai kapanpun ia harus patuh pada ajaran Sunda Wiwitan yang dianut suku Baduy. Sampai mati, kang Juli harus berjalan tanpa alas kaki dan mandi cuci kakus di sungai. Sampai waktu yang tiada batas, kang Juli takkan merasakan manfaat listrik di rumahnya. Semua karena kang Juli harus patuh pada aturan leluhur dan adat.

Walau begitu, tiada semburat kepedihan dalam wajah kang Juli. Senyum yang selalu menghiasi wajahnya, membuat teduh siapapun yang memandangnya. Dalam sorot matanya yang penuh ketenangan itu, kudapatkan nilai syukur dan penerimaan yang tinggi atas takdir yang dijalani.

Lojor teu meunang dipotong

Pondok teu meunang disambung

Kurang teu meunang ditambah

Leuwih teu meunang dikurang

( Panjang tak boleh dipotong . Pendek tak boleh disambung . Kurang tak boleh ditambah . Lebih tak boleh dikurang )

– Peribahasa Suku Baduy

” Mba Rien, yang tak bisa dirubah itu takdir ya. Tapi kalo nasib bisa kan? ” Itulah pertanyaan awal yang kuajukan pada mba Katerina setibanya kami di Desa Cibeo, desa Baduy Dalam.

Ia mengangguk.

” Tapi… Apakah mereka punya pilihan untuk merubah nasib? Maksudku dengan aturan leluhur itu, bukankah sulit bagi mereka untuk merubah nasib? ”

Hening sejenak.

Maka rangkaian kata yang mba Katerina ucapkan membuatku berpikir banyak. Sudah tibakah berita tentang Islam pada mereka?

Dengan islam, kang Juli takkan lagi berjalan tanpa alas kaki. Kang Juli akan belajar berkuda. Dengan kuda, kang Juli dapat melakukan perjalanan jauh. Kang Juli bisa datang ke Bandung dengan berkuda. Aku dan keluargaku siap menjamu kang Juli yang pasti lelah sekali dalam perjalanan.

Dengan islam, ibu kang Juli takkan lagi mandi di sungai. Ibu kang Juli akan malu bila mandi di alam terbuka. Ibu kang Juli akan mendapat kedudukan terhormat dalam islam. Sungguh bentuk penghormatan tertinggi yang tak dapat kang Juli jumpai di tempat lain.

Sesederhana itu.

Malam panjang. Pegal yang dirasa tak mampu membuat mataku cepat terpejam. Banyak sekali yang kupikirkan. Dengan beralaskan sleeping bag kurenungi apa saja yang sore tadi kulihat di desa ini.

Anak-anak suku Baduy sungguh menggemaskan. Sore itu, Rian dan Sadam berhasil merebut hati seorang anak kecil dengan mengiming-imingi kue dan sosis siap saji. Seketika pandanganku menjurus pada anak itu. Apa yang sehari-hari ia lakukan selain makan dan bermain bola? Sedangkan bersekolah adalah pantangan bagi mereka? Lantas pertanyaan itu membawaku pada pemahaman bahwa anak ini akan disiapkan untuk kegiatan warga baduy pada umumnya, yaitu bertani dan menjadi porter bagi para pelancong yang berkunjung. Ya, seperti yang terjadi pada kang Juli dan Agus. Aku mengeluarkan uang sejumlah Rp. 25.000,- untuk jasa porter kang Juli. Rupanya suku Baduy Dalam sudah mengenal uang. Kang Juli bercerita bahwa tradisi barter dalam perdagangan telah jarang dilakukan.

Meski warga Baduy tak diperbolehkan sekolah, ajaibnya rata-rata dari mereka bisa membaca dan menulis. Belajar otodidak, itu yang kang Juli lakukan. Aku rasa mungkin karena sering datangnya pelancong kesini, sehingga mau tak mau mereka bisa berbahasa Indonesia.

Ada satu hal yang kusukai dari aturan suku Baduy. Aturan ini dibuat untuk menjaga simfoni kehidupan suku baduy yang cinta akan alam dan menolak modernisasi. Adalah bahwa orang bule dilarang masuk ke pemukiman suku Baduy. Bagiku ini sangat menarik. Jika pada umumnya hampir setiap tempat wisata di Indonesia dibanjiri wisatawan asing, tidak demikian dengan Baduy. Lantas aku bertanya-tanya. Ratusan tahun bangsa ini dijajah Portugis, Belanda dan Jepang… Apakah mereka dilarang masuk kesini?

Waktunya mandi. Sore itu, aku dan kawan-kawan akan mandi dan kakus di sungai. Oh tidak! Ini kali pertama bagiku mandi di sungai. Bagaimana caranya?

Maka kulihat wanita Baduy itu mandi dengan berbalut kain seadanya. Aktivitas mandi, cuci baju dan kakus dilakukan di sungai yang sama. Sungai itu dibagi menjadi tiga. Bagian yang mengalir deras adalah untuk kakus, bagian yang agak mengalir untuk mencuci perabot rumah tangga dan bagian yang tenang adalah untuk mandi.

Aku sungguh tak bisa mandi dalam keadaan seperti itu. Apalagi setelah tahu bahwa ada lelaki yang melihat aktivitas kami. Sudahlah, semalam tak mandi tak mengapa. Maka kuputuskan hanya membasuh wajah dan merendam kaki seadanya. Itu sudah cukup.

Untuk urusan mandi, kami tak diperbolehkan memakai sabun karena buihnya akan mengotori lingkungan. Maka berendam adalah pilihan terbaik untuk membersihkan badan. Biasanya wanita baduy menambahkan daun sebagai pembersih badan. Untuk urusan gigi, mereka menggunakan serabut kelapa.

Maka dalam upaya untuk tidur, kupahami semua apa yang kulihat disini. Bagi kang Juli dan kawan-kawan, hidup seperti inilah yang terbaik bagi mereka, menuruti aturan adat yang ada. Lalu, apakah ada warga Baduy yang melanggar? Bagaimana keadaan mereka? Jawabannya kutemukan dalam sesi tanya jawab dengan jaro (perwakilan puun -kepala adat-) keesokan paginya. Namanya Mursin. Jaro Mursin.

Bahwa bagi mereka yang melanggar adat akan keluar dari pemukiman Baduy dalam. Maka tersebutlah suku Baduy luar. Kehidupan warga Baduy luar lebih kekinian dibanding baduy dalam. Peralatan rumah tangga sudah menggunakan plastik dan gelas kaca, tak seperti Baduy dalam yang hanya boleh dari kayu atau bambu. Pakaian yang mereka kenakan pun berbeda. Orang Baduy luar sudah menggunakan kaos dan celana jeans seperti masyarakat umum. Ikat kepala yang dikenakan lelaki warnanya biru, bukan putih seperti Baduy dalam.

Jaro Mursin bercerita bahwa pernah ada warga Baduy dalam yang menikah dengan warga non Baduy. Secara adat hubungan mereka terputus, namun hubungan kekeluargaan tentu masih berlanjut.

Menurut wikipedia, ada segelintir warga suku Baduy luar yang beralih agama menjadi seorang muslim. Namun saat kutanyakan pada kang Juli, semua warga Baduy dalam dan Baduy luar beragama Sunda Wiwitan. Hal itu kutanyakan lagi pada segerombolan ibu-ibu berjilbab yang sedang berjalan di kawasan Baduy luar.

” Ibu punten bade tumaros… Pami ibu urang baduy luar? “, tanyaku. (Ibu maaf mau tanya… Kalau ibu orang baduy luar?)

Tawa mereka membuncah. Menertawakan apa yang baru saja kutanyakan. Ibu-ibu itu bukanlah orang Baduy. Mereka baru saja pulang berladang. Namun mereka mengatakan bahwa ada komunitas muslim di dekat kawasan baduy luar. Tapi bukan orang baduy.

Kawan, hanya sehari semalam kuhabiskan waktu dengan mereka. Namun makna hidup yang kudapatkan sungguh banyak. Perbedaan diantara kami menciptakan hubungan yang selaras antar umat manusia. Saling menghargai dan menghormati jalan hidup masing-masing.

Maka dalam perjalanan kereta ekonomi ini aku kembali termenung. Aku lebih bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan padaku. Bersyukur karena Tuhan kembali mengizinkanku mengenal keanekaragaman ciptaanNya. Bukankah firmannya berkata ‘berjalanlah’ dan ‘saling mengenal’ agar kamu mengerti akan makna hidup?

Kereta terus melaju. Membelah perbatasan provinsi Banten dan DKI Jakarta. Meski hawa panas dan penat begitu kentara, sejuk yang dirasa dihati. Lagi. Kuucapkan syukur pada Tuhan akan pengalaman indah ini. Penjelajahan pemukiman di sekitaran rel stasiun duri, mendaki dan menuruni bukit yang terjal, berinteraksi dengan masyarakat baduy hingga berdesak-desakan di dalam kereta ekonomi. Seulas senyum simpul melukis wajahku. Petualangan yang menakjubkan. Sekarang saatnya untuk tidur, menyiapkan bekal energi untuk esok.

Tapi… Belum jua lelap menyapaku, tetiba hati ini dirundung gelisah.

 Aku lupa bawa daun honje…

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *