Sudah sejak lama aku ingin sekali berkunjung ke Lombok. Diri ini selalu terpesona jika melihat liputan tentang Lombok di televisi ataupun media sosial. Belum lagi saat kuputuskan untuk melahap buku Sunset Bersama Rosie. Aduhai, keinginan itu semakin menggebu-gebu. Penuturan Tere Liye akan Lombok dapat dengan mudahnya membuat imajinasi berkelana. Menerka-nerka, kapan aku bisa kesana.
Barangkali ini adalah kejutan yang Tuhan berikan padaku. Berencana untuk pergi ke Lombok di akhir 2013, tiba-tiba aku diharuskan pergi papakan ke Lombok di pertengahan 2013. Maka di tahun itu, aku pergi ke Lombok 2 kali dalam setahun. Luar biasa! Maka janganlah kita ragu akan impian. Tuhan selalu punya kejutan.
Bumi Seribu Masjid dan Bumi Sejuta Sapi
Aku masih di pesawat yang membawaku dari Jakarta ke Mataram. Setelah kurang lebih 2 jam menanti, pilot mengatakan bahwa sesaat lagi pesawat akan mendarat di Bandara Internasional Lombok (BIL) Praya. Seketika kualihkan pandanganku ke jendela pesawat. Amboi… inikah Lombok?
Mataku seakan tertawan pesona yang baru saja kulihat. Hamparan permadani hijau nan luas dengan pohon yang berjarak dan sawah yang tertata rapi. Luasnya sawah mengalahkan jumlah luas lahan perumahan. Ini berbeda sekali dengan pemandangan Bandung dari atas pesawat yang didominasi perumahan. Ada juga masjid-masjid besar di sepanjang mata memandang. Belum lagi kulihat ada sekumpulan sapi yang jumlahnya sangat banyak. Omaaakkk!
Karena saking banyaknya jumlah masjid dan sapi, Lombok dijuluki sebagai ‘Bumi Seribu Masjid’ dan ‘Bumi Sejuta Sapi’. Sesaat setelah keluar dari Bandara, kita dapat dengan mudahnya melihat banyak sapi layaknya seperti kucing yang banyak dijumpai di daerah asalku, Bandung. Aku jadi bertanya-tanya, apakah penduduk Lombok senang pelihara sapi?
Rupanya berternak sapi telah menjadi pilihan sebagian penduduk Lombok untuk meningkatan kualitas ekonomi. Sapi adalah komoditi unggulan untuk menopang pendapatan daerah Lombok. Kemampuan produksi sapi yang berkualitas dan melimpah menjadikan Lombok sebagai salah satu pemasok ternak sapi untuk kurban. Maka tak heran bila Lombok adalah ‘Bumi Sejuta Sapi’.
Perjalanan selama kurang lebih 1 jam dari BIL Praya ke Mataram dilalui tanpa ada kemacetan. Infrastruktur jalan yang baik membuat perjalanan tampak menyenangkan, walau sesekali bis kami dikagetkan dengan pengendara motor yang ngebut sekenanya. Selain itu, banyak kujumpai mobil bak terbuka yang ditumpangi ibu-ibu petani. Mereka tampak biasa duduk ditepian mobil. Tak ada rasa takut akan jatuh.
Selain itu, sawah dan ladang jagung mendominasi perjalananku menuju Mataram. Banyaknya sawah berefek pada peningkatan produksi beras di Lombok. Sehingga kini Lombok dikenal sebagai daerah swasembada beras dan lumbung padi nasional.
Sebutan ‘Bumi Seribu Masjid’ memang layak ditujukan untuk Lombok. Disini masjid… Disana masjid… Dimana-mana adanya masjid! Bahkan ada tugu berbentuk masjid di bundaran yang kulalui kala menuju pusat kota.
Tugu ini pasti akan kita lewati jika memasuki kota Mataram dari Bandara Praya atau sebaliknya. Tugu Giri Menang Town Square atau yang sering disebut Tugu Seribu Masjid ini nampak lebih indah di malam hari. Ada cahaya warna-warni yang menghiasi juga air mancur yang berirama mengikuti alunan musik. Sayang sekali saya melewatkan kesempatan untuk melihat tugu ini di malam hari.
Berinteraksi dalam Bahasa Sasak
Saat papakan di Lombok, aku menginap di The Santosa Villas and Resort yang terletak di Senggigi, Lombok Barat. Agenda terakhir di serangkaian papakan adalah team building ke Gili Trawangan. Maka untuk mencapai Gili Trawangan, kami harus melalui Malimbu yang terkenal dengan spot foto yang indah. Setelah dari Malimbu, perjalanan dilanjutkan ke Teluk Kodek untuk selanjutnya menyebrang ke Gili Trawangan.
Team building ini mengharuskanku bertanya dalam bahasa Sasak. Maka masing-masing dari kami diberikan kertas petunjuk bagaimana berinteraksi dalam bahasa Sasak.
Mbe jak te laik smeton?
Jika jawaban driver adalah ‘Gili Meno’ itulah bis yang membawaku ke Teluk Kodek.
Sai aran side?
Jika jawaban boatman adalah ‘Tiyang domek’ itulah perahu yang membawaku ke Gili Trawangan.
Berembe kabar?
Jika jawaban boatman adalah ‘Solah, silak niki boat side’ aku akan mendapatkan sarung pantai yang akan digunakan untuk permainan di Gili Trawangan.
Percakapan itu kututup dengan ‘Matur tampi asih’ yang berarti ‘Terima kasih’. Bagiku, berinteraksi dengan bahasa daerah kepada penduduk asli daerah itu amat mengesankan. Meski tentu saja kosakata yang kuketahui masih sangat sedikit. Setidaknya aku bisa memuji kepada diri sendiri . . .
Selamat! Kamu sudah menambah isi kotak ilmu bahasa!
Ada Masjid Besar di Gili Trawangan
Ada 3 gili besar di Lombok yang ramai dikunjungi pelancong. Gili tersebut adalah Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air. Ketiga gili itu letaknya berdekatan, bahkan dari perahu kita bisa melihat ketiganya secara bersamaan.
Gili Trawangan memiliki pasir berwarna putih. Paduan putih dan birunya laut membuat mataku terpukau penuh pesona. Ditambah lagi dengan cerahnya mentari hari itu, aku semakin tak sabar untuk snorkeling dan melihat keindahan bawah laut Gili Trawangan.
Kehidupan di Gili Trawangan adalah yang paling ramai dibanding gili-gili lain. Disini, fasilitas penunjang bagi para travelers begitu lengkap. Dari mulai warung, cafe, bar, salon, toko buku, penyewaan sepeda, pijat refleksi, ATM bahkan tempat dugem. Untuk aktivitas laut, ada banyak pilihan disini. Dari mulai snorkeling, diving hingga bottom glass. Konon, keindahan bawah laut Gili Trawangan begitu indah, bahkan bila kamu snorkeling di sekitaran pantai. Namun rupanya, kini karang di tepian laut gili sudah banyak yang rusak. Kita harus snorkeling di tengah laut agar melihat keindahan bawah laut yang lebih indah.
Hal lain yang membuat Gili ini tampak bergitu nyaman adalah udaranya yang bersih. Disini penggunaan kendaraan bermotor sebagai alat transportasi dilarang. Maka tak heran bila udara di gili ini bebas dari polusi. Bila kita ingin mengelilingi gili, kita bisa bersepeda atau naik Cidomo, kereta penumpang yang ditarik oleh kuda.
Pemandu kami mengatakan bahwa Gili Trawangan dianggap sebagai surga bagi para turis asing. Karena disini turis diperbolehkan untuk dugem dan berjemur dengan pakaian seadanya. Berbeda dengan Bali -yang mana setiap sudut kota pasti ditemukan banyak pusat hiburan- tidak begitu dengan Lombok. Hanya Lombok bagian barat saja yang diperbolehkan adanya hiburan semacam itu. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat Lombok (suku Sasak) yang beragama islam begitu menjaga lingkungannya dari hal-hal yang dilarang oleh agama. Kata pemandu kami, semakin ke timur Lombok, semakin sedikit atau bahkan tak pusat hiburan seperti di Gili Trawangan.
Hal itu terbukti kala aku berkunjung kembali ke Lombok. Semakin ke timur, semakin sedikit turis yang berkunjung. Padahal gili dan tempat wisata di bagian tengah dan timur lombok lebih indah dibanding lombok barat. Konon katanya, masyarakat lombok tengah dan timur begitu menjaga daerahnya dari aktivitas turis yang cenderung bersuka ria di tempat wisata, bukannya menikmati keindahan alam.
Setelah matahari condong ke atas, aku berfikir untuk sholat dzuhur di tempat makan saja. Namun tetiba, sayup-sayup kudengar suara adzan yang menggema nan indahnya. Ini di Gili Trawangan! Pusat dari segala hiburan di pulau Lombok. Dari mana datangnya adzan itu?
Rupanya suara itu datang dari masjid yang letaknya tak jauh dari tempat kami berkumpul. Segera kuhampiri suara itu dan aku dibuat terkagum-kagum dengan besarnya masjid Gili Trawangan. Masjid ini masih dalam proses pelebaran dan perbaikan, namun bagian dalam masjid nampak bersih dan siap untuk menampung jamaah untuk sholat. Saat memasuki bagian dalam masjid, terlihat banyak penduduk lokal yang telah siap menunggu mu’adzin untuk iqomah. Aku dibuat terharu dengan kejadian ini. Sebuah masjid besar berdiri dengan gagahnya di tengah-tengah bar dan pusat hiburan bagi para turis. Di depan, kiri dan kanan masjid, terlihat dengan jelas turis-turis yang sedang meneguk bir.
Saat adzan berkumandang, kulihat ada turis asing yang terheran-heran mengelilingi masjid. Aku rasa mereka mencari asal muasal suara adzan. Aku hanya mengulaskan senyum pada mereka dan membiarkan mereka melihat aktivitas ibadah di dalam masjid.
Saksikanlah, bahwa kami seorang muslim . . .
Aku mengelilingi Gili Trawangan dengan menggunakan Cidomo. Bar, cafe dan resort mendominasi awal perjalananku. Semakin jauh, gili ini semakin sepi. Aha! Ada satu tempat yang ingin kudatangi bila waktunya tiba. Spot sunset. Namun sayang sekali aku harus melewatkan ini, keberadaanku di Gili Trawangan tidak sampai matahari jatuh terbenam.
Hal menarik lain yang ku jumpai di gili ini adalah adanya kuburan muslim dan bentuk rumah yang unik. Bentuk atap rumah itu seperti gunungan yang menukik ke bawah dan terbuat dari jerami. Tiang penyangga rumah terbuat dari bambu. Inilah rumah khas Suku Sasak.
Walau tanahku kini telah ramai oleh hiburan yang terlarang kulakukan, aku tetap memegang prinsipku. Jalan islam tetap ku junjung tinggi. Boleh kau datang kemari dan mencicip surga semu duniawi di tempatku. Tapi, tidak! Aku tidak hendak mengikuti jejakmu. Karena aku adalah seorang muslim. Yang mewarnai, bukan terwarnai.
Saksikanlah, bahwa aku seorang muslim . . .
Pesta Makanan Halal
Lombok adalah tempat wisata yang ramah bagi wisatawan muslim. Masjid dan makanan halal ada dimana-mana. Untuk urusan wisata kuliner, Lombok punya beragam menu pedas yang siap mengadiksi para wisatawan. Ada ayam taliwang dan plecing kankung yang pedas luar biasa, ada sate rembige yang dagingnya empuk dan kaya bumbu, nasi balap puyung yang ditaburi ayam suwir bercabai, ada juga sayur ares dan ebatan. Selain itu ada beberok terong, sate bulayak dan sate tanjung yang menjadi kuliner yang wajib dicicipi selama berada di Lombok.
Aku begitu suka dengan makanan khas Lombok yang dominan pedas, salah satunya adalah plecing kangkung. Setelah mengantongi ilmu cara memasak plecing yang enak, aku putuskan untuk membeli kangkung di Pasar Abian Tubuh Mataram dengan harga Rp. 2.000,-/ikat. Kangkung Lombok memiliki ciri khas daun yang sedikit dengan batang yang panjang.
Shalat di Desa Para Penculik
Barangkali sebutan ‘penculik’ disini dirasa cukup kejam. Namun bila dipahami lebih lanjut, ada nilai heroik yang terkandung di dalamnya.
Adalah merarik, proses menculik gadis pujaan yang hendak dinikahi. Merarik merupakan cara pernikahan yang paling sering dilakukan oleh suku Sasak. Cara ini dianggap cara yang paling terhormat bagi seorang pria untuk menikahi pujaan hatinya. Tentunya proses penculikan ini diketahui oleh kedua belah pihak sehingga tidak menimbulkan unsur kriminal.
Setelah diculik, calon mempelai wanita akan tinggal di rumah keluarga atau kerabat calon mempelai pria. Sampai si pria memberi kabar pada keluarga si wanita bahwa puterinya telah berhasil diculik dan kondisinya baik. Setelah itu diadakan pertemuan di antara kedua belah pihak untuk membahas rencana pernikahan.
Cerita merarik ini membuatku ingin mengenal Suku Sasak lebih jauh. Maka pergilah aku dan rekan yang lain ke Desa Sade, desa suku Sasak yang letaknya tak jauh dari Pantai Kuta, Lombok Tengah.
Saat memasuki komplek desa Sade, kami disambut oleh seorang pria berwajah ceria. Rupanya beliau yang akan menjadi pemandu kami. Namanya Lalu Liwaldi. Sebelum diajak berkeliling desa Sade, kami shalat terlebih dahulu di Masjid yang cukup besar di desa itu.
Arsitektur masjid ini unik dan disesuaikan dengan ciri khas rumah Suku Sasak yaitu atap berjerami. Hanya saja ada perbedaannya yaitu masjid ini sudah berlantai keramik. Berbeda dengan rumah suku sasak di desa sade yang terbuat dari kotoran kerbau. Iyalah, mau sholat beralaskan ‘itu’?
Berdasarkan informasi yang kudapat dari Lalu Liwaldi, Sade adalah kelompok suku sasak yang paling tua di Lombok tengah bagian selatan. Desa ini sudah berdiri dari tahun 1070 M, sejak zaman pra aksara dan pra sejarah. Kemudian masuklah islam dalam kehidupan Suku Sasak di Sade pada abad ke 17 yang dibawa oleh Sunan Kalijaga atau yang lebih dikenal sebagai Syekh Haji Duta Semu. Sebelumnya, Suku Sasak mempercayai aliran islam waktu tiga: aliran lokalisme (mengikuti tradisi leluhur), aliran hinduisme (percaya akan sesajen dan membakar dupa) serta aliran sufisme.
Kini penduduk di Desa Sade berjumlah 700 orang dengan 150 rumah. Semua penduduknya sudah 100% Islam. Namun mereka tetap menjunjung tinggi tradisi leluhur.
NTB : Wisata Syariah Indonesia
Kehidupan islami nampaknya memang menjadi khas kehidupan masyarakat Lombok. Disini mudah bagi kita menjumpai masjid, hotel dengan arah kiblat dan makanan halal. Selain itu, ada banyak pesantren dan para penghafal Al-Qur’an yang jumlahnya semakin menggeliat. Belum lagi predikat Bumi Seribu Masjid dan adanya Islamic Centre terbesar se-Asia Tenggara yang dibangun di jantung kota Mataram.
Wisata syariah adalah hal yang dinantikan oleh para wisatawan muslim. Dan NTB telah siap menjadi destinasi wisata syariah di Indonesia.
Datanglah ke Lombok-Sumbawa. Tempat dimana kamu tak usah risau mencari letak surau . . . Tempat dimana kamu tak usah kesal mencari makanan halal . . .
Ijaaaahhh, aku jadi mupeng ke Lombok niiiih
Hayu mba. Mba nurul kan deket ke Lombok 😀