Sejatinya, apa yang membuat orang cenderung mudah untuk dimarahi? Apakah karena kekurangan yang ada pada dirinya, atau pada orang yang memarahi?
Memberi nasihat dan memarahi, adalah verba yang berbeda. Bila memberi nasihat, ia menaruh rasa hormat dan sayang pada orang yang dinasihati. Sedangkan memarahi, alih-alih memberi nasihat, malah menimbulkan rasa rendah diri, tak berharga dan tak merasa dicintai di hati orang yang dimarahi.
Kita semua meyakini, tak ada orang yang benar-benar sempurna. Pasti semua ada kekurangan. Menikah, menjadi pasangan dari seseorang, artinya melengkapi kekurangan pasangan. Bukan berarti mengkritik, memaki, membentak, membebani pasangan dengan ‘nasihat’ yang dibumbui gejolak amarah.
Bagi seorang wanita, ia bisa kuat menggendong anak sambil memasak dan mengerjakan tugas rumah tangga, ia dapat begadang semalam saat anak rewel, juga menahan diri dari keinginan demi kepentingan keluarga. Tapi sekalinya dibentak oleh suami, tidak diberikan ruang bagi diri untuk mewujudkan keinginan, seketika hati ini remuk redam, hancur, porak poranda.
Betul kata seorang bijak, menasihati wanita haruslah dengan penuh kebijaksanaan. Bila terlalu keras, tulang rusuk itu akan patah. Bila terlalu lembut, ia akan tetap bengkok. Menyenangkan hatinya adalah sebuah kegembiraan yang amat sangat. Hal itu akan melahirkan rasa percaya diri pada dirinya untuk mempersembahkan yang terbaik bagi suami dan anak-anaknya, untuk keluarga yang dia utamakan.
Tak perlu hal-hal besar dalam membahagiakan dirinya. Cukup dengan pelukan dan kecup di kening, saat istri sedang kesal, marah, dan lelah. Memberi ruang bagi dirinya untuk mempercantik diri, membangkitkan rasa percaya dirinya, memudahkan urusannya, juga mencintai keluarga istri yakni orang tua dan saudara istri.
Bilamana seorang istri belum mendapatkan keistimewaan itu dari suaminya, berarti ada maksud kebaikan dari Allah kepada istri itu. Semua pasti terbaik yang Allah beri. Saat ini, rasanya kepiluan dipandang sebagai ketidakberuntungan. Namun percayalah ada maksud luar biasa, hikmah terbaik yang Allah beri setelah mendung ini berlalu. Bukankah setiap manusia diuji sesuai dengan kemampuannya?
Mengumpulkan lagi puing-puing yang retak, untuk terus semangat memerankan peran sebagai seorang istri. Tidak mudah, tapi itulah cara seorang istri meraih ridho Allah, tirakat seorang istri menuju Allah. Dengan memiliki kemampuan untuk memohon pada Allah, bershalawat pada Nabi, itu adalah kenikmatan luar biasa di tengah ujian hidup.
Semua rezeki sudah dijamin oleh Allah. Bilamana merasa ada pihak yang melimitasi, yakin bahwa ada Allah Yang Maha Segala. Masa-masa kelam ini adalah waktu yang terbaik untuk mempelajari tauhid, kehendak Allah, mendalami kisah Rasulullah Muhammad SAW, yang dengan itu insyaallah memberi penerangan pada hati yang kelam.
Bukankah Allah menghadiahi Rasulullah dengan perjalanan agung Isra’ wal Mi’raj setelah tahun penuh kesedihan?
Bismillah. Belajar terus, belajar menyikapi peristiwa hidup, belajar mencintai untuk meraih keridhoan Allah SAW. Lillahita’ala.
Seperti kata Rasulullah Muhammad SAW dalam doa Thaif, “Asal Engkau tidak marah padaku, Rabb-ku, aku tidak apa-apa.”