Salam!
Happy weekend to all my online readers. In this week’s translation, I am going to translate one of the best TED Talks videos that inspire me a lot about parenting styles. It talks about how chores make a huge impact on children’s future. The talk was delivered by Julie Lythcott-Haims, titled How to Raise Succesful Kids Without Over Parenting.
Hopefully, you’ll gain more knowledge than I had, and also enthusiasm after watching and reading the translation.
Happy reading!
Transcript and Translation
You know, I didn’t set out to be a parenting expert. In fact, I’m not very interested in parenting, per Se. It’s just that there’s a certain style of parenting these days that is kind of messing up kids, impeding their chances to develop into theirselves. There’s a certain style of parenting these days that’s getting in the way.
Kalian tahu, saya tidak berencana menjadi pakar pengasuhan anak. Kenyataannya, saya tidak tertarik pada pengasuhan anak saja. Hanya saja ada gaya pengasuhan anak tertentu belakangan ini yang agaknya mengacaukan hidup anak, dan menghambat kesempatan anak untuk bertumbuh menjadi diri mereka. Ada gaya pengasuhan anak tertentu yang menghalanginya.
I guess what I’m saying is, we spend a lot of time being very concerned about parents who aren’t involved enough in the lives of their kids and their education or their upbringing, and rightly so. But at the other end of the spectrum, there’s a lot of harm going on there as well, where parents feel a kid can’t be successful unless the parent is protecting and preventing at every turn and hovering over every happening, and micromanaging every moment, and steering their kid towards some small subset of colleges and careers.
Hal yang ingin saya katakan, kita menghabiskan banyak waktu mengkhawatirkan orang tua yang tidak cukup terlibat dalam kehidupan serta pendidikan atau pola asuh anak-anak mereka yang seharusnya. Namun di sisi lain, ada banyak kesalahan pengasuhan juga, ketika orang tua merasa anaknya tidak bisa sukses kalau tidak dilindungi dan dibimbing dalam setiap langkahnya, mengawasi semua hal yang terjadi, mengatur setiap waktu, dan mengarahkan anaknya dalam memilih kuliah dan karir.
When we raise kids this way, and I’ll say we, because Lord knows, in raising my two teenagers, I’ve had these tendencies myself, our kids end up leading a kind of checklisted childhood. And here’s what the checklisted childhood looks like. We keep them safe and sound and fed and watered, and then we want to be sure they go to the right schools, that they’re in the right classes at the right schools, and that they get the right grades in the right classes in the right schools. But not just the grades, the scores, and not just the grades and scores, but the accolades and the awards and the sports, the activities, the leadership. We tell our kids, don’t just join a club, start a club, because colleges want to see that. And check the box for community service. I mean, show the colleges you care about others.
Ketika kita membesarkan anak seperti ini, dan saya mengatakan “kita” karena Tuhan tahu cara saya membesarkan kedua anak remaja saya, saya cenderung melakukan hal yang sama, mengatur masa kecil anak-anak berdasarkan daftar keinginan. Dan inilah ciri-ciri anak yang diatur sesuai daftar keinginan. Kita menjaga mereka aman dan sehat, cukup makan dan minum, dan kita pastikan mereka masuk ke sekolah yang tepat, di kelas yang tepat dalam sekolah yang tepat, mendapat peringkat yang tepat di kelas yang tepat dalam sekolah yang tepat. Tidak hanya peringkatnya, nilainya juga, pujian dan penghargaan, juga olahraga, kegiatannya, kepemimpinannya. Kita katakan agar mereka tidak sekedar ikut sebuah klub, tapi dirikan sebuah klub, karena kampus ingin melihat itu. Lakukan pula kegiatan pelayanan masyarakat. Tunjukkan bahwa kau peduli pada orang lain.
And all of this is done to some hoped-for degree of perfection. We expect our kids to perform at a level of perfection we were never asked to perform at ourselves, and so because so much is required, we think, well then, of course, we parents have to argue with every teacher and principal and coach and referee and act like our kid’s concierge and personal handler and secretary. And then with our kids, our precious kids, we spend so much time nudging, cajoling, hinting, helping, haggling, nagging as the case may be, to be sure they’re not screwing up, not closing doors, not ruining their future, some hoped-for admission to a tiny handful of colleges that deny almost every applicant.
Dan semua ini dimaksudkan untuk meraih suatu tingkat kesempurnaan. Kita mengharapkan anak-anak kita untuk tampil sempurna meski kita tak pernah dituntut untuk tampil sempurna, dan karena begitu banyak yang diperlukan, sebagai orang tua kita pikir harus berdebat dengan setiap guru, kepala sekolah, pelatih dan wasit, bertindak sebagai penjaga anak, pengawas pribadi, dan sekretaris. Lalu kepada anak yang kita sayangi, kita habiskan banyak waktu untuk mendorong, membujuk, memberi petunjuk, membantu, bernegosiasi, kadang juga mengomel, agar memastikan mereka tidak gagal, tidak menutup pintu, tidak merusak masa depan, beberapa berharap agar diterima oleh segelintir kampus yang menolak hampir semua pelamar.
And here’s what it feels like to be a kid in this checklisted childhood. First of all, there’s no time for free play. There’s no room in the afternoons because everything has to be enriching, we think. It’s as if every piece of homework, every quiz, every activity is a make-or-break moment for this future we have in mind for them, and we absolve them of helping out around the house, and we even absolve them of getting enough sleep as long as they’re checking off the items on their checklist. And in the checklisted childhood, we say we just want them to be happy, but when they come home from school, what we ask about all too often first is their homework and their grades. And they see in our faces that our approval, that our love, that their very worth, comes from A’s. And then we walk alongside them and offer clucking praise like a trainer at the Westminster Dog Show.
Beginilah rasanya menjadi anak yang masa kecilnya diatur. Pertama, tidak ada waktu untuk bermain bebas. Tak ada waktu santai di siang hari karena setiap kegiatan harus ada unsur belajarnya. Seakan-akan setiap PR, setiap ulangan, setiap kegiatan adalah momen yang menentukan masa depan yang telah kita rancang untuk mereka, dan kita membebaskan mereka dari pekerjaan rumah tangga, dan bahkan tak membiarkan mereka tidur yang cukup asalkan mereka sudah melakukan kegiatan yang telah kita atur. Dalam masa kecil yang serba diatur, katanya kita hanya ingin mereka bahagia, tapi sewaktu pulang dari sekolah, hal pertama yang paling sering kita tanya adalah PR dan nilai mereka. Akhirnya mereka lihat bahwa restu dan kasih sayang kita, semua harga diri mereka, datang dari nilai A. Kemudian kita berjalan dan memuji mereka seperti pelatih di Pertunjukan Anjing Westminster.
coaxing them to just jump a little higher and soar a little farther, day after day after day. And when they get to high school, they don’t say, “Well, what might I be interested in studying or doing as an activity?” They go to counselors and they say, “What do I need to do to get into the right college?” And then, when the grades start to roll in in high school, and they’re getting some B’s, or God forbid some C’s, they frantically text their friends and say, “Has anyone ever gotten into the right college with these grades? And our kids, regardless of where they end up at the end of high school, they’re breathless. They’re brittle. They’re a little burned out. They’re a little old before their time, wishing the grown-ups in their lives had said, “What you’ve done is enough, this effort you’ve put forth in childhood is enough.” And they’re withering now under high rates of anxiety and depression and some of them are wondering, will this life ever turn out to have been worth it?
membujuk mereka untuk lompat lebih tinggi dan melambung lebih jauh, hari demi hari. Saat mereka masuk sekolah menengah, mereka tidak berkata, “Oke, aku mau pilih belajar apa atau berkegiatan apa?” Mereka berkonsultasi dengan guru pembimbing, “Apa yang harus kulakukan untuk masuk ke universitas yang tepat?”Kemudian, saat nilai sekolah keluar dan mereka mendapatkan nilai B, atau amit-amit nilai C, mereka mengirim pesan pada teman-temannya dengan gelisah dan berkata, “Pernahkah ada yang bisa masuk universitas bagus dengan nilai ini?” Dan anak-anak kita, bagaimanapun nilai akhir sekolahnya, mereka terengah-engah. Mereka rapuh dan kepayahan. Mereka dewasa sebelum waktunya, berharap orang-orang dewasa di sekitarnya berkata, “Yang kaulakukan sudah cukup, semua upaya yang kaulakukan di masa kecilmu sudah cukup.” Dan sekarang mereka letih dalam tingkat kegelisahan dan depresi yang tinggi dan beberapa diantaranya bertanya-tanya, akankah hidup ini akan menjadi berarti?
Well, we parents, we parents are pretty sure it’s all worth it. We seem to behave — it’s like we literally think they will have no future if they don’t get into one of these tiny sets of colleges or careers we have in mind for them. Or maybe, maybe, we’re just afraid they won’t have a future we can brag about to our friends and with stickers on the backs of our cars. Yeah. But if you look at what we’ve done, if you have the courage to really look at it, you’ll see that not only do our kids think their worth comes from grades and scores but that when we live right up inside their precious developing minds all the time, like our very own version of the movie “Being John Malkovich,” we send our children the message: “Hey kid, I don’t think you can actually achieve any of this without me.” And so with our overhelp, our overprotection and over direction and hand-holding, we deprive our kids of the chance to build self-efficacy, which is a really fundamental tenet of the human psyche, far more important than that self-esteem they get every time we applaud.
Sebagai orang tua kita merasa cukup yakin bahwa semuanya setimpal. Tampaknya kita mengira bahwa mereka takkan punya masa depan jika mereka tidak masuk dalam segelintir kampus dan jenjang karir favorit yang kita rancang untuk mereka. Atau mungkin kita hanya takut pencapaian anak-anak tak bisa kita banggakan pada teman-teman kita, juga tak adanya stiker yang menempel di belakang mobil. Namun jika Anda lihat apa yang telah diperbuat, jika Anda punya nyali untuk benar-benar melihatnya, bukan hanya anak-anak berpikir harga diri mereka tergantung nilai dan skor di sekolah, tapi kita yang terlalu dalam mencampuri perkembangan mereka di sepanjang waktu, seperti versi kita sendiri dalam film “Being John Malkovich,” kita sampaikan pesan ini pada mereka: “Hei, Nak. Kami rasa kau tak akan mampu melakukan semua ini tanpa kami.” Lalu dengan bantuan kita yang berlebihan, perlindungan, pengarahan dan dukungan yang berlebihan, kita merenggut kesempatan anak-anak kita untuk membangun keyakinan diri, yang merupakan prinsip mendasar dari jiwa manusia, jauh lebih penting dari harga diri yang mereka dapat ketika kita menyanjungnya.
Self-efficacy is built when one sees that one’s own actions lead to outcomes, not “There you go”. Not one’s parents’ actions on one’s behalf, but when one’s own actions lead to outcomes. So simply put, if our children are to develop self-efficacy, and they must, then they have to do a whole lot more of the thinking, planning, deciding, doing, hoping, coping, trial and error, dreaming and experiencing of life for themselves. Now, am I saying every kid is hard-working and motivated and doesn’t need a parent’s involvement or interest in their lives, and we should just back off and let go? Hell no.
Keyakinan diri terbentuk ketika tindakannya mengarahkan hasil, bukan “Itu dia”. Bukan tindakan orang tua yang mengatasnamakan dirinya, tapi tindakan dirinya sendiri yang mengarahkan hasil. Jadi intinya, jika anak-anak ingin membangun keyakinan dirinya, dan itu memang seharusnya, mereka harus lebih banyak berpikir, merencanakan, memutuskan, melakukan, berharap, berusaha mengatasi, mencoba dan gagal, bermimpi dan menjalani hidup mereka sendiri. Sekarang, apakah saya bilang kalau setiap anak yang pekerja keras dan termotivasi itu tidak membutuhkan campur tangan orang tua dalam kehidupannya, dan kita sebagai orang tua mundur saja dan membiarkan mereka? Tentu tidak.
That is not what I’m saying. What I’m saying is, when we treat grades and scores and accolades and awards as the purpose of childhood, all in furtherance of some hoped-for admission to a tiny number of colleges or entrance to a small number of careers, that that’s too narrow a definition of success for our kids. And even though we might help them achieve some short-term wins by overhelping — like they get a better grade if we help them do their homework, they might end up with a longer childhood résumé when we help — what I’m saying is that all of this comes at a long-term cost to their sense of self. What I’m saying is, we should be less concerned with the specific set of colleges they might be able to apply to or might get into and far more concerned that they have the habits, the mindset, the skill set, the wellness, to be successful wherever they go. What I’m saying is, our kids need us to be a little less obsessed with grades and scores and a whole lot more interested in childhood providing a foundation for their success built on things like love and chores.
Bukan itu maksud saya. Maksud saya, bila kita menganggap angka, nilai, pujian, dan penghargaan sebagai tujuan masa kecil, yang semuanya ditujukan untuk lolos ujian masuk ke segelintir universitas atau peluang karir, maka definisi sukses itu terlalu sempit bagi anak-anak kita. Dan meskipun kita membantu mereka meraih keberhasilan kecil dengan berlebihan, seperti membantu mengerjakan PR untuk mendapatkan nilai tinggi, kemungkinan prestasi masa kecil mereka akan banyak. Yang saya maksudkan, semua ini membawa kerugian jangka panjang terhadap jati diri mereka. Kita sebaiknya mengurangi kekhawatiran terhadap universitas mana yang mungkin dapat mereka masuki, dan jauh lebih memperhatikan kebiasaan, pola pikir, keterampilan, kesehatan dan keberhasilan kemana pun mereka melangkah. Yang ingin saya sampaikan, anak-anak tak ingin kita terobsesi dengan nilai dan angka, tapi lebih memperhatikan tentang menyiapkan fondasi di masa kecil bagi kesuksesan mereka, yang dibangun dari hal-hal seperti kasih sayang dan pembagian tugas di rumah.
Did I just say chores? Did I just say chores? I really did. But really, here’s why. The longest longitudinal study of humans ever conducted is called the Harvard Grant Study. It found that professional success in life, which is what we want for our kids, that professional success in life comes from having done chores as a kid, and the earlier you started, the better, that a roll-up-your-sleeves- and-pitch-in mindset, a mindset that says, there’s some unpleasant work, someone’s got to do it, it might as well be me, a mindset that says, I will contribute my effort to the betterment of the whole, that that’s what gets you ahead in the workplace. Now, we all know this. You know this.
Tugas di rumah? Apa benar? Ya, benar. Inilah sebabnya. Penelitian longitudinal manusia terpanjang yang pernah dilakukan adalah Penelitian Harvard Grant. Ternyata, sukses secara profesional dalam hidup, yang mana kita inginkan untuk anak-anak, datang dari melakukan tugas di rumah semasa kecil. Semakin cepat dimulai, semakin baik. Pola pikir singsingkan lengan bajumu dan mulai bekerja, pola pikir yang mengatakan rumah berantakan sehingga seseorang harus melakukannya dan mungkin itu aku, pola pikir yang mengatakan aku akan berkontribusi untuk memperbaiki semuanya, dan itulah yang membuat Anda menonjol di pekerjaan. Sekarang, kita semua tahu ini. Anda tahu hal ini.
We all know this, and yet, in the checklisted childhood, we absolve our kids of doing the work of chores around the house, and then they end up as young adults in the workplace still waiting for a checklist, but it doesn’t exist, and more importantly, lacking the impulse, the instinct to roll up their sleeves and pitch in and look around and wonder, how can I be useful to my colleagues? How can I anticipate a few steps ahead to what my boss might need? A second very important finding from the Harvard Grant Study said that happiness in life comes from love, not love of work, love of humans: our spouse, our partner, our friends, our family. So childhood needs to teach our kids how to love, and they can’t love others if they don’t first love themselves, and they won’t love themselves if we can’t offer them unconditional love.
Kita semua tahu ini. Namun dalam masa kecil yang diatur, kita bebaskan anak-anak dari pekerjaan di rumah. Akhirnya mereka berakhir menjadi seorang dewasa menunggu daftar tugas di tempat kerja, yang mana daftar itu tak ada. Yang lebih penting lagi, mereka kurang memiliki dorongan, naluri untuk menyingsingkan lengan baju dan memulai bekerja, mengamati sekitar dan berpikir, apa yang bisa aku lakukan? Bagaimana mengantisipasi hal-hal yang mungkin dibutuhkan atasan saya? Temuan kedua yang sangat penting dari Penelitian Harvard Grant menyatakan bahwa kebahagiaan hidup berasal dari cinta, bukan cinta terhadap pekerjaan, tapi cinta kepada manusia: pasangan hidup kita, partner, teman, keluarga kita. Maka itu, masa kecil haruslah mengajarkan anak-anak tentang bagaimana mengasihi, sebab mereka takkan mengasihi orang lain jika tak mengasihi diri sendiri, dan mereka takkan mengasihi diri sendiri jika kita tak memberi mereka cinta sepenuh hati.
Right. And so, instead of being obsessed with grades and scores when our precious offspring come home from school, or we come home from work, we need to close our technology, put away our phones, and look them in the eye and let them see the joy that fills our faces when we see our child for the first time in a few hours. And then we have to say, “How was your day? What did you like about today?” And when your teenage daughter says, “Lunch,” like mine did, and I want to hear about the math test, not lunch, you have to still take an interest in lunch. You gotta say, “What was great about lunch today?” They need to know they matter to us as humans, not because of their GPA. All right, so you’re thinking, chores and love, that sounds all well and good, but give me a break. The colleges want to see top scores and grades and accolades and awards, and I’m going to tell you, sort of. The very biggest brand-name schools are asking that of our young adults, but here’s the good news. Contrary to what the college rankings racket would have us believe you don’t have to go to one of the biggest brand name schools to be happy and successful in life. Happy and successful people went to state school, went to a small college no one has heard of, went to community college, went to a college over here and flunked out.
Baik. Jadi, daripada terobsesi dengan nilai dan angka saat anak pulang dari sekolah, atau kita pulang dari kerja, kita harus mengesampingkan teknologi, singkirkan telepon dan tatap mata mereka. Biarkan mereka melihat sukacita yang menghias wajah kita, ketika akhirnya dapat melihat mereka lagi setelah terpisah beberapa saat. Dan kemudian kita harus bilang, “Bagaimana harimu? Ada yang menarik hari ini?” Dan ketika mereka bilang, “makan siang,” seperti anak saya, dan saya ingin tahu tentang tes matematika, bukan makan siang, Anda harus tetap menaruh minat pada makan siang. Anda harus bertanya, “Apa yang menarik dari makan siang hari ini?” Mereka harus tahu bahwa mereka amat berharga bagi kita sebagai manusia utuh, bukan karena IPK mereka. Baik, jadi Anda pikir bahwa tugas di rumah dan cinta adalah bagus. Tapi, tunggu dulu. Universitas melihat skor dan nilai tinggi, pujian dan penghargaan, dan mari saya beri tahu Anda. Sekolah ternama dan terbesar memang melihat itu semua, tapi ini kabar baiknya. Bertentangan dengan peringkat universitas yang kita percayai, Anda tidak harus masuk ke sekolah yang ternama untuk bahagia dan sukses dalam hidup. Orang-orang bahagia dan sukses masuk ke sekolah negeri, masuk ke universitas kecil yang tak terkenal, masuk ke sekolah tinggi, masuk ke sekolah di sini dan gagal.
The evidence is in this room, is in our communities, that this is the truth. And if we could widen our blinders and be willing to look at a few more colleges, maybe remove our own egos from the equation, we could accept and embrace this truth and then realize, it is hardly the end of the world if our kids don’t go to one of those big brand-name schools. And more importantly, if their childhood has not been lived according to a tyrannical checklist then when they get to college, whichever one it is, well, they’ll have gone there on their own volition, fueled by their own desire, capable and ready to thrive there. I have to admit something to you. I’ve got two kids I mentioned, Sawyer and Avery. They’re teenagers. And once upon a time, I think I was treating my Sawyer and Avery like little bonsai trees that I was going to carefully clip and prune and shape into some perfect form of a human that might just be perfect enough to warrant them admission to one of the most highly selective colleges.
Buktinya ada di ruangan ini, dalam komunitas kita, inilah kenyataannya. Dan jika kita buka mata lebar-lebar dan bersedia melihat beberapa universitas lain dengan menghilangkan ego dalam diri, kita bisa menerima dan menyadari kebenaran ini. Jika anak kita tidak masuk ke salah satu sekolah ternama tersebut, itu bukanlah akhir dunia. Lebih penting lagi, bila masa kecil anak tidak dihiasi dengan daftar yang kejam, saat mereka masuk ke universitas, yang mana pun itu, mereka masuk atas pilihan sendiri, didorong oleh keinginan mereka sendiri, mampu dan siap untuk bersaing di sana. Saya harus mengakui sesuatu pada Anda. Saya punya dua anak, Sawyer dan Avery. Mereka remaja. Dahulu kala, saya memperlakukan Sawyer dan Avery seperti pohon bonsai kecil yang saya potong dan rapikan menjadi bentuk manusia sempurna, yang dijamin cukup untuk bisa diterima di salah satu universitas selektif.
But I’ve come to realize, after working with thousands of other people’s kids and raising two kids of my own, my kids aren’t bonsai trees. They’re wildflowers of an unknown genus and species — and it’s my job to provide a nourishing environment, to strengthen them through chores and to love them so they can love others and receive love and the college, the major, the career, that’s up to them. My job is not to make them become what I would have them become, but to support them in becoming their glorious selves.
Tapi akhirnya saya sadar, setelah bekerja dengan ribuan anak orang lain dan membesarkan kedua anak saya sendiri, mereka bukanlah pohon bonsai. Mereka adalah bunga liar dari genus dan spesies yang tak dikenal. Tugas saya adalah menyediakan lingkungan yang sehat, menguatkan mereka lewat tugas di rumah dan cinta, sehingga mereka bisa saling mengasihi. Tentang universitas, jurusan, karir, itu terserah mereka. Tugas saya bukan membuat mereka menjadi apa yang saya inginkan, tapi mendukung mereka jadi pribadi mulia.
***
Baca juga : IND-ENG : Musibah Kebakaran dan Hikmah di Baliknya #TranslationSpot
That’s it. If you have any comments or suggestions, please drop me a comment. Thank you!