Bayang matahari tak tampak lagi mengikutiku, agaknya matahari telah menggapai puncak. Sinarnya sungguh menyilaukan, terlebih saat ini aku sedang berjalan dengan teramat perlahan menuruni Bukit Pergasingan yang konon medannya nyaris menyerupai Gunung Rinjani.
“Mas Riyal, kok bisa sih jalannya cepat begitu? Ini medannya terjal luar biasa!”
Pria berusia 19 tahun itu mengedipkan mata dengan jenaka seraya menolong kami -para wanita penuh rasa takut- menuruni bukit terjal ini. Melihat penampilannya saat itu aku diliputi takjub. Berani-beraninya dia mendaki gunung hanya dengan mengenakan sandal Swallow!
“Ayo semangat Mbak Zahra. Mamak saya memasak banyak sekali masakan khas Sembalun untuk makan siang. Mbak lapar bukan? Ayok semangat turun!”
Aku meringis. Mendengar masakan perutku jadi keroncong luar biasa. Tadi aku makan pagi jam 4 subuh sebab harus segera mendaki Pergasingan. Selama pendakian, aku hanya minum air putih. Belum lagi dengan tenaga yang dikeluarkan untuk mendaki, cacing di perutku semakin meronta-ronta untuk diberi makan.
Masakan khas Sembalun |
Syukurlah, kami semua sudah tiba kembali di Desa Sembalun. Kami segera melaju menuju rumah Mas Riyal, dan di sana sang Ibu menyambut kami dengan senyuman yang teramat hangat.
“Silakan masuk Mba, Mas. Sudah capek mendaki yang paling enak adalah istirahat, minum dan makan.”
Teh dan kopi segera dihidangkan setibanya kami di rumah Mas Riyal. Kami duduk lelesan. Duh! Nikmat sekali rasanya dapat berselonjor. Ini seakan memberi rehat pada kaki yang telah bekerja keras pagi ini.
Kopi yang dihidangkan bukanlah kopi biasa. Ini adalah kopi khas Sembalun. Sayang seribu sayang, aku tidak mencicipinya sebab aku tidak begitu menyukai kopi pahit. Aku juga tidak mengerti bagaimana perbedaan rasa kopi pahit. Namun menurut teman-teman yang mencoba, rasanya enak dan khas.
Masakan yang dihidangkan ada enam jenis dan semuanya adalah khas Sembalun. Aku menelan ludah, dari aroma dan penampilannya saja sudah sangat menggairahkan. Keenam masakan itu adalah Banteng Ngangaq, Apes, Kelak Batih, Kelak Sin, Ikan Beloh dan Suberang. Nama-nama yang unik, bukan?
Banteng Ngangaq. Foto oleh Dee An |
Apes |
Banteng Ngangaq dibuat dengan bahan dasar Ikan Teri dan Cabe Hijau. Ini adalah masakan yang paling pedas di antara semuanya. Saking pedasnya, aku nobatkan Banteng Ngangaq sebagai masakan favoritku selama di Desa Sembalun.
Kelak Batih |
Kelak Sin |
Kelak Batih. Masakan ini berbahan dasar kacang merah dan daun balung adang. Lucunya, kacang merah dalam bahasa sembalun disebut buncis. Nah lho, bukan buncis yang hijau panjang itu ya 😁 Sedangkan daun balung adang adalah bahasa lokal untuk daun ubi kayu. Mas Riyal bilang, jika sulit menemukan daun balung adang, bisa diganti dengan daun singkong.
Kelak Sin adalah sayur bening yang berisi bayam dan labu siam.
Suberang |
Ikan Beloh |
Suberang serupa dengan kering kentang atau biasa disebut dengan mustofa.
Porsi Makanku |
“Masya Allah, Alhamdulillah… Rasanya enak sekali. Terima kasih Ibu…”
Aku tak henti-hentinya memuji masakan Ibunda Mas Riyal. Rasanya enak, pedas, gurih dan sampai membuatku menambah lauk sebanyak tiga kali. Semakin nikmat dengan hadirnya nasi merah asli sembalun yang dalam bahasa lokal disebut beaq ganggas.
Perut sudah kenyang dan tenagaku terisi kembali. Hari ini aku benar-benar menghirup aroma keindahan dan kenikmatan Desa Sembalun, desa indah yang terletak di kaki Gunung Rinjani. Keenam masakan itu, mungkin tak banyak dikenal oleh khalayak ramai. Maka, berkesempatan untuk mencicipi masakan khas Sembalun langsung di tanah Sembalun adalah sebuah pengalaman yang takkan pernah lupa. Sungguh mengesankan.