Zahra Rabbiradlia | 1994

Judul tulisan ini mengingatkanku pada buku pertama Asma Nadia yang kubaca : Jilbab Pertamaku. Buku tersebut berisi kisah-kisah perjuangan muslimah yang ingin mengenakan jilbab. Ada yang tidak diperbolehkan berjilbab sehingga dikucilkan, ada yang sembunyi-sembunyi, bahkan ada yang menggunakan taplak meja sebagai jilbab. Membaca buku tersebut pada awal-awal memutuskan berjilbab adalah semangat tersendiri. Puji syukur pada Allah, semakin dikuatkan langkah berjilbab setelah membaca buku Jilbab Pertamaku.

Aku mengenakan jilbab sejak kelas 6 SD. Tepatnya 1 minggu setelah menstruasi pertama. Tiada paksaan sama sekali dari ibu dan ayah agar aku mengenakan jilbab. Keinginan tersebut muncul dari hati. Ada sebuah keyakinan kuat bahwa aku ingin taat, aku ingin mengamalkan perintah jilbab dalam Surat Al-Ahzab : 59 dan An-Nuur : 31.

Keinginan kuat untuk mengenakan jilbab adalah hasil dari proses panjang ibu membina aku sedari kecil. Setiap hari, dalam setiap momen masa kecil yang kuingat, ibu selalu bercerita tentang keutamaan mengenakan jilbab. Cerita yang disampaikan ibu sangatlah menarik. Di akhir cerita, ibu selalu berkata bahwa kelak saat aku baligh (haid), aku harus mengenakan jilbab. Apakah pada saat mendengar itu aku merasa tertekan? Sungguh tidak. Justru aku begitu menantikan masa-masa itu tiba. Masa di mana jilbab selalu melekat erat di kepalaku.

Sejak kecil aku tak merasa asing dengan jilbab. Ibuku mengenakan jilbab sejak tahun 80-an, masa di mana wanita berjilbab masih sangatlah jarang, masa di mana penggunaan jilbab adalah sebuah larangan. Ibu juga menempelkan stiker ayat-ayat perintah mengenakan jilbab di lemari kamar. Sehingga aku selalu melihat ayat itu dan paham bahwa perintah jilbab datang langsung dari Tuhan.

Jilbab pertamaku kukenakan pada bulan Juli 2002. Pada saat itu aku masih kelas 6 SD. Ibu langsung membuatkan aku seragam putih lengan panjang dan rok merah panjang, juga baju pramuka panjang. Ibu juga membeli kaos dan celana olahraga panjang yang warnanya senada dengan baju olahraga sekolah dan tak lupa jilbab instan warna putih. Masih ingat rasanya pada saat pertama kali turun dari becak dan memasuki halaman sekolah, para pedagang dan teman-teman melihatku dengan keheranan.

Zahra, mana bondu Marshanda-nya?

Aku tersenyum penuh malu. Pada saat itu, akulah satu-satunya murid yang mengenakan jilbab. Hingga pada saat memasuki ruangan dan wali kelas melihatku, beliau berkata :

Kamu sudah siap, Zahra? Pake jilbab itu jangan lepas pakai.

InsyaAllah enggak, Bu. Itu jawabanku. Meski memancing pandangan banyak orang, nyatanya teman-teman senang akan keputusanku mengenakan jilbab.

Mengenakan jilbab itu seru. Pada saat latihan renang misalnya. Aku harus terbiasa berenang dengan menggunakan kaos dan celana panjang yang beratnya minta ampun. Belum lagi dengan jilbab yang kerap kali mengembung. Tapi ingat : Alah bisa karena biasa. Pada akhirnya aku terbiasa dengan kostumku saat berenang. Bahkan aku lulus di ujian renang.

Bisa dikatakan bahwa aku dimudahkan saat mengenakan jilbab. Tidak ada tantangan dari manapun. Semua pihak mendukung keputusanku. Pada saat membaca kisah penuh haru dari para muslimah yang ingin berjilbab, aku kerap menangis. Perjuangan demi taat.

Teringat kisah Laudya Cyntia Bella pada saat memutuskan untuk berhijab. Sepulang umroh, Ia langsung datang ke rumah Bunda Inka, salah satu guru agamanya, dan berkata :

“Bunda, aku ingin pake jilbab. Aku ingin taat.”

You might also enjoy:

0 Comments

  1. Ah Ijah unyu-unyu sekali. Hebat ibunya Ijah udah berhijab sejak tahun 80-an. Jaman segitu ibuku belum berhijab, beliau istiqomah berhijab baru beberapa tahun terakhir. Kalau aku? Mungkin sampai sekarang pun belum bisa dikatakan istiqomah, soalnya kalau main ke tempat tetangga, ke warung dekat rumah, nyapu halaman, aku nggak pake hijab 🙁 Tapi aku pengen banget bisa sempurna berhijab.

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *