Cucu perempuan Abah yang udah kerja tapi belum nikah ya tinggal Zahra nih. Ayo kapan nikah?

Aku kadang heran sama kamu, Zah. Umur masih muda tapi udah kalang kabut aja pengen cepet nikah. Udah, kamu nikmatin dulu hidup. Nikah itu gak gampang lho.

Begitulah.

Saat ini aku sedang menjalani masa di mana banyak sekali yang bertanya atau kepo tentang kapan aku menikah. Ada yang ingin segera melihat aku menikah. Ada yang menasihati aku tentang pernikahan. Ada yang mengajakku duduk santai dan memikirkan pernikahan nanti-nanti saja. Usiaku saat ini memang menjadi sasaran empuk bagi mereka untuk bertanya : Kapan nih lihat kamu gandengan sama suami?

Aku sendiri tidak merasa terganggu dengan pertanyaan itu. Justru sebaliknya, aku merasa senang. Oleh karena setelah bertanya, mereka akan mendoakan aku : Semoga cepat dapet pasangan yang terbaik ya.

Saat ini aku masih dalam tahap belum tergesa-gesa dalam mencari pasangan hidup. Tapi bukan berarti aku menutup diri. Karena menurutku, usiaku sekarang belum memasuki masa ‘tegang’ karena belum menikah.

Tapi rupanya membuka hati itu bukan perkara mudah, setidaknya bagiku. Setelah berkali-kali gagal menjalani hubungan, analisaku semakin tajam saat memilih pasangan. Pemilih? Sangat mungkin.

Oleh karena itu aku berubah menjadi sosok yang menakutkan bagi lelaki, setidaknya itu yang kulihat. Saat ada yang mendekati, aku menjadi sosok yang cuek dan seperti tidak memperhatikan. Padahal di belakang, aku mencari informasi tentang sosok itu lewat sosial media yang dia punya. Hey, kepo itu wajib!

Tapi memang aku tidak bisa tidak cuek pada siapa saja yang mendekati. Entah kenapa. Mungkin itu semacam dinding pertahanan otomatis, yang sedang menunggu seseorang untuk menembusnya. Dan hal ini pasti banyak dilakukan oleh perempuan lainnya.

Jangan cuek sama laki-laki, Teh…

Aku hanya bisa mengernyit. Ibu berkata bahwa jika aku cuek selalu, aku hanya akan menatap nanar punggung-punggung itu pergi. Kusampaikan pada Ibu bahwa aku tidak bisa menahan prilaku cuek ini. Jika sudah begitu, Ibu diam dan mengingatkanku untuk berdoa selalu.

Aku bersolilokui : aku harus memikirkan jalan keluar. Akhirnya aku berpikir bahwa permasalahanku ini bisa terselesaikan bila aku meminta bantuan pada mak comblang. Ya, mak comblang. Orang yang menjadi perantara bagi dua orang untuk saling berkenalan untuk selanjutnya menuju pernikahan.

Sebelumnya aku pernah melalui proses perkenalan melalui mak comblang, tapi gagal. Kemudian aku mencoba lagi. Kali ini mak comblang-nya adalah Om ku sendiri. Alhamdulillah proses-nya lebih baik dari sebelumnya, lebih memenuhi syarat agama. Namun ternyata visi misi kami tidak cocok. Ta’aruf gagal.

Proses ta’aruf ini tidak menimbulkan rasa pedih di hati. Rasanya biasa saja. Bagaimana bisa pedih jika kami hanya bertemu sekali? Itupun saat proses ta’aruf belum berjalan.

Proses seperti ini yang lebih melegakan bagiku. Ta’aruf. Proses pengenalan pasangan secara mendalam, tanpa perlu kontak berlebihan dengan calon pasangan.

Masih jomblo? Mungkin kamu masih bernilai 6, sedang jodohmu bernilai 9. Ia sedang menunggumu memperbaiki diri. Jika nilaimu baik, Ia akan datang padamu.

Mungkin aku masih sendiri karena aku belum siap menyambut jodohku. Kalau begitu memperbaiki diri adalah cara terbaik untuk menyambutnya.

Ah lebay! Belum waktunya aja kali menikah. Udah santai dulu aja.

Ih gak gitu tahu! Aku punya keinginan dapat jodoh seperti ini, ini, ini. Kalau gitu aku harus menyesuaikan kemampuanku agar bisa bersinergi dengan pasanganku. Memperbaiki diri adalah sebuah keharusan!

Yelaaah… Berat amat, Neng!

Suara-suara di kepalaku acap kali meributkan hal-hal sepele. Namun mereka sepakat saat aku memutuskan untuk menempuh jalan ta’aruf untuk menjemput jodohku.

Jadi jomblo itu rasanya kaya ngunyah Nano-Nano. Lihat yang punya pasangan, pengen punya juga. Lihat yang udah nikah, pengen cepet nikah. Tapi di sisi lain masih merasa nyaman melakukan beberapa hal sendiri. Bukan. Bukan aku menolak bahwa saat punya pasangan nanti me time-ku banyak terenggut. Namun itu adalah satu dari banyak pikiran yang membawaku pada pemahaman bahwa aku bersyukur menjadi jomblo.

Iya bersyukur.

Tapi jangan lama-lama ya 😀

You might also enjoy:

27 Comments

  1. Hihihi... jangan lupa undang aku yak kalau nikah Zah *komen apa ini* Didoakan secepatnyaaa...

  2. Melalui pertanyaan simple itu sebenarnya mereka ingin melihat kamu bahagia dengan menikah, semua pasti begitu, kan kalo orang nikah rasanya seperti memasuki dunia baru yang benar2 belum pernah dialami sebelumnya.

    Masa tegang? Kayak sim card, masa tenggang, hjaha...

    Solulikui apaan ya?

    Semoga cepat2 dapat jodoh ya..

  3. Itu tadi keyboardnya ngga tauuu kenapa berubah... keyboard huruf Cina gak ngerti hahaha... Jadinya kayak pake spasi ya? Di aku gede gede jadinya =))
    Yuuukkk jalan Zahraaaaaa~~ kapan yah bisa barengan lagi 😀 😀

  4. Santai zahra...
    Kalau sudah nikah dan punya anak suka rindu masa sendiri easy going..
    Zahra mah cantik tinggal jangan terlalu cuek aja qiqiiqi

  5. Subhanallah teteh, aku suka kalimatnya:
    "Masih jomblo? Mungkin dirimu masih bernilai 6, sedang jodohmu bernilai 9. Ia sedang menunggumu memperbaiki diri. Jika nilaimu naik, Ia akan datang padamu."

    aku setuju teh, aku pun sedang menjalani rumus "memperbaiki kualitas diri demi mendapatkan dia yang berkualitas" hihihihi.

    Saling mendoakan deh ya. Semoga kita (yang saat ini sama2 sedang jomblo) segera dipertemukan jodoh yang terbaik itu. AMin..

  6. Jodoh dan rejeki pasti dah di atur oleh yg Maha Kuasa yaitu Allah SWT..
    Tinggal berdoa dan berikhtiar,,memperbaiki menjadi lbh baik lg (seperti kata mu level paling atas, hehe & mendekatkan diri pada-Nya..Insya'Allah

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *