Nyaris lima tahun jadi ibu, aku menemukan perubahan besar dalam diriku. Jadi makin profesional dan cekatan, itu salah satunya.

Alah bisa karena biasa. Peribahasa itu tepat disematkan bagi profesiku sebagai ibu. Jika berkelana ke masa lalu, tahun pertama jadi ibu adalah masa yang amat berat. Saat itu, rasanya seluruh beban dunia diberikan padaku. Aku nyaris tak peduli pada diriku sendiri.

Bayangkan saja, aku nyaris begadang setiap hari. Badanku pegal-pegal. Belum lagi pusing dengan urusan puting lecet, MPASI, sampai tantrum anak. Oh, aku ingat. Tentang bagaimana konflik antara aku dan suami yang terpisah jarak ribuan kilometer pun menambah penat hidupku.

Bebanku semakin bertambah ketika komentar miring mulai berdatangan. Baik itu tentang caraku mengasuh anak, juga kondisi orang tuaku yang ada di ambang perceraian. Kepalaku rasanya ingin pecah dan aku merasa tercerabut dari jati diriku yang sebenarnya.

Namun seiring berjalannya waktu, masalah-masalah yang kurasakan dulu tak lagi jadi terasa berat.

Kini, aku adalah ibu dari tiga anak jarak dekat yang berdomisili di Yokohama, Jepang. Meski lelah begitu lekat, aku sangat menikmati peranku. Aku bahkan bisa aktif menjadi blogger yang berpenghasilan, juga menerbitkan buku. Jika dipikir-pikir, nyaris setengah mimpiku terwujud ketika aku menjadi ibu.

Rupanya, hal ini pun dirasakan oleh banyak ibu di dunia ini. Mayoritas ibu dengan banyak anak ternyata lebih produktif dalam bidang yang ia geluti. Ada yang aktif berdagang, pengajar, bekerja kantoran, mengurus organisasi, memasak, dan lainnya.

Jika dipikir lebih dalam, bagaimana bisa seorang ibu yang memiliki banyak anak bisa produktif di bidang yang ia sukai?

Ternyata, jawabannya terletak pada prinsip pareto (80:20), kebiasaan kunci, dan shalawat.

Prinsip pareto atau yang lebih dikenal dengan Aturan 80/20 merupakan salah satu konsep manajemen waktu yang membantu seseorang untuk lebih produktif dalam hidupnya. Teori yang ditemukan oleh Vilfredo Pareto pada tahun 1895 ini mengatakan bahwa 20% pekerjaan dapat mendorong 80% hasil. Dengan kata lain, jika kita fokus pada dua poin dari sepuluh, maka hasil kerja yang diharapkan akan tercapai.

Teori ini didukung pula oleh Charles Duhigg dalam bukunya “The Power of Habit” yang mengatakan bahwa kebiasaan kunci (keystone habits) adalah kebiasaan penting yang memicu perubahan di aspek-aspek lain. Dalam artian, kebiasaan kunci merupakan pondasi dari terbentuknya kebiasaan baik lain.

Kedua teori ini memiliki benang merah yang sama, yakni hasil usaha akan terlihat jika kita fokus pada hal kecil tapi penting, maka hasil akan terlihat.

Kegiatan sederhana dan rutin yang kulakukan sebagai ibu rumah tangga seperti memasak, bangun sebelum subuh dan menulis agenda kerja, rupanya telah membentuk diriku jadi lebih produktif bahkan ketika sudah memiliki tiga anak.

Dengan selalu masak (jarang sekali beli makan di luar), aku menjadi seorang yang cekatan dan berstrategi. Tentang bagaimana aku harus bisa masak makanan bergizi untuk keluarga, juga alokasi waktu di dapur yang harus efektif karena ada anak-anak yang minta ditemani bermain. Kebiasaan rutin ini juga jadi sarana efektif untuk mendidik anak-anak agar suka memasak dan peduli pada kebutuhan dasar dirinya sendiri sejak kecil.

Rutin bangun sebelum subuh membuat kinerja otakku maksimal untuk dikebut mengejar deadline menulis. Dengan rutinitas ini, aku jadi bisa menerbitkan buku dalam waktu 4 bulan, juga meraup pundi-pundi uang dari aktivitasku sebagai narablog.

Selain itu, rutin menulis impian dan agenda kerja telah membantuku untuk memvisualkan diriku di masa depan. Rutinitas ini sejalan dengan metode SMART (Specific, Measurable, Attainable, Relevant, Timely) yang mana membuatku bisa melihat dengan jelas apa yang ingin kucapai dan lakukan dalam hidup.

Terakhir, puncak dari seluruh kebiasaan baik dalam hidupku, yakni sholawat. Dengan membumbui ragam aktivitasku dengan shalawat, hidupku terasa lebih bermakna. Makanan yang kumasak, rumah yang kubersihkan, baju yang kulipat, seluruhnya dibersamai dengan ucapan teragung di alam raya. Shalawat tak hanya membantuku jadi ibu yang luwes dan waras menghadapi dinamika rumah tangga, tetapi juga mengarahkanku untuk selalu mencari solusi, mudah meminta maaf ketika sedang burn out, juga bekerja sama yang baik dengan suami. Dengan demikian, shalawat adalah penawar dari segala isu mental yang kupunya sehingga aku bisa jadi lebih produktif di bidang yang kusukai.

Lihat, dengan rutin memelihara kebiasaan kecil nan penting, ibu dapat mencapai mimpinya meski dalam kondisi sibuk mengurus keluarga.

Aku yakin, tiap ibu memiliki hidden power yang dapat tersibak jika ibu membukanya dengan kebiasaan-kebiasaan baik.

Ibu, selamat berjuang! Let you be the change you want to see.

You might also enjoy:

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *