Mataku menyipit terkena terik matahari. Aku baru saja tiba di Pura Uluwatu saat matahari mulai beranjak pergi ke ufuk barat. Saatnya shalat Ashar, begitu batinku. Maka sebelum memasuki kawasan pura, aku dan kawan lainnya sholat di sebuah gazebo yang terletak di luar kawasan pura. Mengunjungi Uluwatu adalah salah satu destinasi yang diadakan oleh perusahaan tempatku bekerja, setelah menghabiskan waktu beberapa hari untuk meeting.
Setiap pengunjung yang datang ke pura, wajib untuk memakai kain selendang. Baru saja selendang selesai kuikat, sekawanan monyet mulai datang menghampiri. Agaknya mereka merayu untuk diberi makan, namun aku diwanti-wanti oleh seorang kawan untuk jangan memberi makan monyet. Aku manut, maka aku melanjutkan langkah menuju kawasan pura dengan sebelumnya berpapasan dengan seorang rekan yang sepertinya berniat tidak masuk ke kawasan pura.
Lagi datang bulan nih, begitu katanya.
Baru saja melangkah sepanjang galah, aku telah disambut oleh panorama laut lepas yang begitu indah. Sekitar 70 meter di atas tebing, tampak terlihat deburan ombak yang tak bosan mencium tepian tebing dengan lembut. Nampak pula gradasi biru laut dan langit yang semakin menambah syahdu sore itu. Hijau pepohonan, tumbuh subur di atas tebing. Betapa ia telah memberi udara segar kepada makhluk lain yang hadir di sekitarnya. Inilah harmoni alam yang begitu indah. Segala puji bagi Allah yang telah membuat indahnya negeri ini.

Sejatinya, pura Luhur Uluwatu ini diperuntukkan bagi umat Hindu untuk beribadah. Namun pihak pura memperbolehkan wisatawan masuk ke kawasan pura, kecuali tempat khusus untuk ibadah. Pengunjung hanya boleh masuk untuk melihat keindahan alam dari atas tebing dan menyaksikan pertunjukan tari kecak yang digelar pada pukul 18.00 setiap harinya. Pura yang terletak di Desa Adat Pecatu Kabupaten Badung ini digadang-gadang sebagai tempat terbaik untuk menyaksikan tarian kecak.

Di dalam kawasan pura, terdapat panggung terbuka berbentuk lingkaran dengan deretan kursi yang menghadap ke barat, sehingga sinar matahari tepat menyinari para pengunjung yang hadir. Untuk itu pengunjung harus membawa topi atau kaca mata hitam supaya tetap dapat menikmati sajian tari kecak. Untung saja, aku membawa kacamata hitam yang kubeli dari salah satu situs jual beli online. Untuk dapat menikmati tarian kecak dan sunset dengan jelas, pilihlah deretan kursi yang menghadap ke gapura. Selang beberapa waktu, kursi mulai dipadati turis lokal maupun mancanegara. Termasuk turis asal India yang jumlahnya cukup banyak. Aku jadi menerka, apakah mereka datang kemari untuk menyaksikan kisah Ramayana versi Bali?

Ketika jingga mulai menghiasi cakrawala, rombongan penari kecak yang mengenakan kain poleng mulai memasuki arena, setelah sebelumnya pembawa acara membacakan sinopsis cerita Ramayana. Sebelum memulai tarian, dilakukan upacara pembuka yang dipimpin oleh sesepuh. Rangkaian upacara itu salah satunya adalah sesepuh yang memercikan air kepada para penari.

Penari kecak

Kecak adalah salah satu tarian paling unik dari Pulau Dewata. Kecak sama sekali tidak diiringi alat musik ataupun gamelan, tetapi oleh paduan suara “cak” dari sekitar 70 orang pria lintas generasi. Pertunjukan ini berlangsung sekitar 1 jam lebih.

Kecak dahulunya merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan dewa atau leluhur yang disucikan, maka itulah asal kecak ini dari tarian sakral “Sang Hyang”. Baru sejak tahun 1930-an, tari kecak mulai disisipi epos Ramayana yang hingga kini bisa dinikmati wisatawan.
Kisah ini sejatinya menceritakan kisah Sri Rama (seorang raja yang terkenal sangat bijaksana) yang menyelamatkan permaisurinya (Dewi Sita) dari penculikan yang dilakukan oleh Rahwana. Lantas, mengapa sampai bisa Dewi Sita diculik?
Sri Rama dan Dewi Sita. Dua-duanya perempuan lho!

Hal ini dipicu oleh siasat jahat yang dilakukan oleh Dewi Kakayi yang merupakan ibu tiri dari Sri Rama (putra mahkota Kerajaan Ayodya). Sehingga Sri Rama harus diasingkan dari istana ayahnya, yakni Sang Prabu Dasa Rata. Ditemani oleh adik laki-lakinya (Truna Laksamana) serta permaisurinya yang setia (Dewi Sita), Sri Rama pergi ke hutan Dandaka. Saat mereka tiba di hutan, Prabu Dasamuka atau Rahwana mengetahui keberadaan mereka. Rahwana pun terpikat kecantikan Dewi Sita dan ia berupaya untuk menculiknya.

Rahwana

Rahwana membuat siasat dengan mengirimkan kijang emas supaya Dewi Sita tertarik. Lantas Dewi Sita meminta Sri Rama untuk menangkap kijang emas itu. Akhirnya Sri Rama pun pergi mengejar kijang. Selang beberapa waktu, Dewi Sita mendengar sebuah teriakan. Ia mengira itu adalah teriakan Rama dan meminta Laksamana untuk memeriksa sumber teriakan itu. Kisah selanjutnya yang terjadi adalah Dewi Sita menuduh Laksamana yang hendak memanfaatkan kematian Sri Rama. Atas dasar itulah Laksamana marah dan meninggalkan Dewi Sita sendirian.

Rahwana lantas berupaya untuk menculik Dewi Sita yang sedang sendiri, namun ia tidak berhasil. Akhirnya Rahwana menyamar sebagai Bhagawan yang hendak meminta air. Perempuan itu pun iba dan ketika ia mengulurkan tangannya untuk memberikan air, Bhagawan langsung berubah menjadi Rahwana dan langsung menarik Sita untuk dibawa ke Alengka Pura. Burung Garuda yang sedang melintas mendengar teriakan Sita dan segera menolong. Dialah Sang Jatayu, yang juga merupakan sahabat Sri Rama. Namun sayang, Jatayu dikalahkan oleh Rahwana sebab sayapnya putus ditebas oleh Rahwana.
Sang Jatayu
Sri Rama yang tersesat di hutan Ayodya akhirnya bertemu kembali dengan Laksamana. Keduanya segera berupaya untuk menyelamatkan Dewi Sita. Sri Rama dan Laksamana akhirnya menemui Hanoman, seorang panglima perang pasukan kera. Keduanya meminta kepada Hanoman untuk dapat membantu dirinya melawan Rahwana. Oleh karena pernah berhutang budi, maka Hanoman membantu Sri Rama untuk menyelamatkan Dewi Sita dari cengkeraman Rahwana.
Sri Rama, Laksamana dan Hanoman
Hanoman diceritakan menemui Dewi Sita dan menunjukkan cincin Sri Rama sebagai bukti bahwa dirinya merupakan utusan Sri Rama untuk menyelamatkannya. Dewi Sita kemudian memberikan bunga kepada Hanoman untuk diberikan kepada Rama sebagai simbol bahwa ia minta diselamatkan. Hanoman lalu pergi menuju taman Alengka Pura dan mengobrak-abrik istana itu hingga tak berbentuk. Rahwana lalu mendatangi Hanoman dan terjadi pertempuran yang sengit. Rahwana berhasil menangkap lalu membakarnya. Namun dengan kesaktiannya, Hanoman berhasil keluar dari api dan bahkan memadamkan seluruh api dengan menginjak-injaknya. Adegan ini memancing gelak tawa penonton oleh karena gerakan Hanoman yang melompat-lompat lucu.
 
Adegan Hanoman membakar Istana Rahwana

Setelah itu, barulah terjadi duel antara Sri Rama dan Rahwana. Sri Rama akhirnya dapat mengalahkan Rahwana dan dapat bersatu kembali dengan permaisurinya.

Dengan latar sunset dan laut lepas, pertunjukan ini mampu menghibur dan menghipnotis penonton. Penonton tak hanya dibawa larut oleh epos Ramayana, tapi juga oleh kelucuan yang dibuat oleh Hanoman dan juga Rahwana. Berkali-kali keduanya masuk ke kerumunan penonton dan mengajak para bule untuk berbincang. Lucu sekali.
Lembayung senja berwarna kemerahan. Ah, indah sekali. Menikmati senja di Uluwatu adalah candu tersendiri. Ingin rasanya berdua saja dengan yang dicinta di sini. Menikmati senja dan aroma laut berdua, seraya tak lepas mengagungkan nama-Nya.
Bali tak hanya membuat candu wisatawan, seorang kawan yang asli pulau dewata ini pun selalu tertawan pada keindahannya. Aku jatuh cinta berkali-kali pada Bali. Padahal harusnya aku sudah gumoh dengan keindahannya sejak dulu.
 
Senyum mengembang dari wajahku. Maka setiap tahunnya, ia selalu pulang ke kampung halamannya di Kuta dan berjibaku dengan ribuan pemudik lainnya untuk berebut tiket mudik. Ya, begitulah balada perantau 😊.
Rangkaian wisata bersama rekan satu perusahaan telah berakhir di Uluwatu. Sehari penuh, mata ini telah dimanjakan dengan keindahan alam Bali. Terlebih ditutup dengan indahnya laut, sunset dan canda tawa di Uluwatu. Rupanya benar, wisata merupakan salah satu cara untuk mengisi daya semangat kembali 😉.

You might also enjoy:

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *