Dua puluh enam tahun. Itulah usiaku kini. Masya Allah.

Dulu, aku selalu bermimpi bahwa di usia lewat dua puluh lima, kehidupanku sudah matang dan sukses. Alhamdulillah poin-poin sebagai definisi sukses yang bernilai duniawi telah aku capai sebelum usiaku 25 tahun. Sudah pergi ke tempat A, sudah bisa beli barang B, sudah bisa investasi dalam bentuk C dan sebagainya. Tapi apakah aku matang dan sukses seperti yang aku inginkan?
Belum. Ternyata belum.
Baru aku sadari bahwa parameter kehabagiaan dalam hidup bukanlah sukses secara materi. Ada yang lebih membahagiakan daripada itu, yakni pencapaian fitrah dalam diri. Fitrah yang berarti goals atau tujuan penciptaan diri ini ke bumi. Apa fitrahku? Sayangnya, aku belum menemukannya. Sudah dua puluh enam tahun, apa kontribusiku dalam kehidupan ini? Apa yang telah aku lakukan sebagai bagian dari arsitek peradaban?
Hampa. Untuk itulah aku memutuskan untuk melepas keduniawian yang nyatanya tidak membuatku bahagia secara batiniah. Tahun ini aku melepas pekerjaan yang sejatinya tidak aku inginkan. Meski memang pekerjaan itu telah membuatku lebih dari cukup, namun bertahun-tahun aku melakukannya bukan karena passion, tapi karena butuh. Aku mencoba untuk menenangkan diri dengan berkata bahwa ini adalah proses pembelajaran, proses syukur, proses mengenal diri dan proses melihat dunia. Tapi hati kecilku terus meronta untuk melepas itu semua. 
Sungguh, aku tidak mau lagi berkata bahwa selama 8 tahun bekerja, aku melakukannya karena terpaksa. Sudah cukup penghakiman itu. Kini aku menganggap bahwa 8 tahun yang berlalu adalah bagian dari kehidupanku. Pahit manisnya aku terima, dan aku bersyukur itu pernah terjadi dalam hidupku. Delapan tahun itu telah membentuk diriku yang sekarang.
Aku tidak akan menangis karena masa lalu yang tidak berjalan sesuai dengan inginku, tapi aku akan tersenyum karena itu semua pernah terjadi.
Kini, aku memulai hidupku yang baru. Di usia dua puluh enam, aku resmi menjadi pengangguran, sebuah gelar yang tidak pernah tersemat dalam diriku sebelumnya. Meski begitu, aku telah menjelma menjadi seorang istri, calon ibu dan scholarship hunter. Tiga gelar yang aku inginkan sejak lama. Ya, telah tiba saatnya bagiku untuk tidak menyerah dalam memperjuangkan mimpi-mimpiku. Dan beruntungnya aku, proses ini kulalui dengan kehadiran buah hati dalam rahimku. Beruntung pula aku, sebab suami memberiku restu untuk memperjuangkan kembali mimpi-mimpiku dan orang tua yang selalu menyayangiku.
Namun, ada satu hal penting yang perlu aku tanyakan pada diriku sendiri. Apakah kondisi ini telah serta merta membuatku lebih bahagia?
Delapan tahun yang penuh dengan kesibukan bekerja dan kesedihan (oleh sebab aku belum menerima kenyataan), telah mengubur semua mimpi sekaligus membuatku buta akan dunia akademisi yang tengah aku kejar saat ini. Aku tidak tahu bagaimana cara mendaftar beasiswa dan sekolah ke luar negeri, tidak tahu cara mengisi essay, tidak tahu apapun tentang IELTS, tidak tahu jurusan yang cocok dengan jurusan dan IPK yang seadanya, tidak tahu harus memilih universitas yang sesuai dengan kemampuanku.
Delapan tahun penuh dengan kecukupan telah membuatku cukup untuk membeli apapun dengan uang sendiri. Statusku sebagai istri dan calon ibu, telah memutarkan sebagian besar pribadi yang telah terbentuk selama ini. Aku harus bisa lebih hemat, mengatur prioritas, bepergian hanya ke tempat yang memberi manfaat dan banyak hal lainnya. 
Proses adaptasi ini acapkali membuatku gusar. Sebab hey aku tak biasa! Tapi tentu saja ini bukanlah masalah besar. Sebab aku harus melalui proses ini untuk memperjuangkan mimpi-mimpiku yang tertunda. Aku harus betul-betul meluruskan niat untuk menempuh pendidikan tinggi, banyak bertanya terkait beasiswa, harus lebih giat belajar untuk mempersiapkan diri, dan tidak menyerah atas apapun kondisi yang terjadi. Tugasku adalah berikhtiar, membayar rupa-rupa kejadian di masa lalu dengan perjuanganku kini. Sehingga di akhir masa hidup nanti, tak ada kata menyesal dalam kamus hidupku hanya karena takut tak memperjuangkan mimpi-mimpiku.
Tak ada kata terlambat. Sungguh, tak ada.
Bismillah. Dua puluh enam tahun. Titik dimana aku meninggalkan kekecewaan selama 8 tahun, untuk memperjuangkan impianku pada tahun-tahun selanjutnya dalam hidupku. Seberat apapun itu, aku akan terus berjuang, tak akan menyerah. Sebab seperti orang mahsyur pernah katakan, impian itu berhak untuk diperjuangkan.
Kepada anakku yang telah berusia 6 bulan di alam rahim. Terima kasih telah menemani Ibu melalui proses perubahan, adaptasi dan perjuangan ini. Segala tangis dan tawa Ibu telah dedek rasakan pula. Maafkan pula Ibu ya sayang. Semoga Allah senantiasa melimpahi rahmat, keberkahan, kebaikan hidup, kesehatan, kecerdasan dan kekuatan untuk dedek dalam menjalani hidup. Untuk menjadi insan shaleh, sang arsitek peradaban, sang pembaharu, sang pendidik, serta cahaya bagi sekitarmu kelak.
Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin…

~ Zahra Rabbiradlia ~

You might also enjoy:

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *